Lihat ke Halaman Asli

Adib Abadi

Eklektik.

Solidaritas untuk Korban Pelecehan Seksual, Sebuah Keberanian yang Patut Dicontoh

Diperbarui: 6 Oktober 2024   17:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ILUSTRASI | Sumber gambar: jateng.tribunnews.com

Pelecehan seksual di lingkungan sekolah bukan hanya masalah individual, melainkan cerminan dari krisis sistemik yang lebih besar. Pada Jumat, 4 Oktober 2024, halaman SMA Negeri 3 Kota Pekalongan penuh dengan karangan bunga (Tribun Jateng, 4/10/2024).

Di antara ucapan belasungkawa yang biasa ditemukan di acara kematian, ada pesan-pesan penuh sindiran. "Turut Berdukacita atas Gugurnya Moral Oknum Guru SMA" dan "Usut Tuntas Pelecehan Seksual di Lingkungan Sekolah" tertulis pada karangan bunga kiriman alumni sekolah tersebut. Aksi ini menjadi bentuk solidaritas yang berbeda---tidak sekadar empati, tetapi seruan untuk perubahan yang lebih besar. Kasus pelecehan seksual oleh seorang guru Bimbingan Konseling (BK) kepada puluhan siswi memantik gerakan moral yang patut diapresiasi.

Namun, di balik solidaritas tersebut, tersimpan pelajaran penting yang seharusnya kita renungkan bersama. Solidaritas alumni ini menunjukkan bahwa persoalan pelecehan seksual, yang sering kali dianggap remeh, sebenarnya adalah ancaman serius bagi moralitas dan keamanan di lingkungan sekolah. Kita tidak bisa hanya terpaku pada rasa simpati tanpa menggali akar masalah yang lebih dalam dan merumuskan solusi konkret agar peristiwa serupa tidak terulang.

Akar Masalah: Budaya yang Mengabaikan Pelecehan

Kasus ini membuka mata kita tentang betapa lemahnya pengawasan terhadap perilaku guru dan kurangnya pemahaman soal batasan antara interaksi yang mendidik dengan yang melecehkan.

Guru BK yang seharusnya menjadi pelindung bagi siswa malah melontarkan pertanyaan-pertanyaan pribadi yang tak pantas, seperti soal ukuran bra dan kebiasaan seksual, kepada para siswi. Ini jelas merupakan bentuk pelecehan verbal yang menyakitkan dan merendahkan martabat.

Sayangnya, sebagaimana diakui oleh Kepala SMA Negeri 3 Kota Pekalongan, Yulianto Nurul Furqon, sekolah baru mengetahui kasus ini setelah sekian lama. Laporan tentang pelecehan verbal oleh guru tersebut sebenarnya telah berlangsung sejak 2010. Namun, karena dianggap "hanya" pelecehan verbal dan pelaku telah meminta maaf, kasus ini sempat dianggap selesai. Padahal, permintaan maaf saja tidak cukup untuk menghapus dampak psikologis yang dialami oleh para korban.

Dalam konteks yang lebih luas, kurangnya edukasi seksualitas yang komprehensif dan kesadaran tentang pentingnya pengawasan terhadap perilaku guru menjadi masalah mendasar. Tanpa adanya pemahaman yang mendalam mengenai seksualitas dan hak-hak individu, pelecehan seperti ini akan terus terjadi dan dianggap hal yang "biasa." Lebih buruk lagi, budaya patriarki yang masih kuat di masyarakat kita cenderung menormalisasi pelecehan seksual, terutama terhadap perempuan.

Dampak yang Tidak Bisa Diabaikan

Dampak dari pelecehan seksual, baik verbal maupun fisik, sangat besar. Para korban sering kali mengalami trauma psikologis yang berkepanjangan. Mereka tidak hanya kehilangan rasa aman di lingkungan sekolah, tetapi juga mungkin akan mengalami kesulitan dalam menjalani kehidupan sosial dan akademis mereka. Di sisi lain, reputasi sekolah yang selama ini dikenal sebagai institusi pendidikan yang baik juga ikut tercoreng.

Selain itu, masyarakat pun mulai kehilangan kepercayaan terhadap sekolah sebagai tempat yang aman bagi anak-anak mereka. Jika kasus ini tidak diselesaikan dengan baik, bukan hanya SMA Negeri 3 Pekalongan yang akan mengalami dampaknya, tetapi juga seluruh institusi pendidikan di Indonesia. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat untuk belajar dan berkembang malah menjadi tempat di mana pelecehan terjadi dan tidak direspons dengan tepat.

Solidaritas sebagai Tindakan Berani

Di tengah kondisi yang memprihatinkan ini, solidaritas yang ditunjukkan oleh para alumni SMA Negeri 3 Pekalongan memberikan harapan. Kiriman karangan bunga dan aksi dukungan moral yang mereka lakukan adalah bentuk keberanian yang patut dicontoh. Mereka tidak hanya menunjukkan simpati kepada para korban, tetapi juga bersikap tegas bahwa pelecehan seksual tidak bisa dibiarkan begitu saja. Mereka menuntut penyelesaian kasus ini hingga tuntas dan siap mendampingi para korban dalam proses hukum serta pemulihan psikologis.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline