Merasi: Kisah yang Terus Berkembang di Bawah Bayang-Bayang Aglomerasi
Saya ingat betul, ketika pertama kali menginjakkan kaki di Desa Kalibening, bagian dari wilayah yang sering disebut Merasi, suatu istilah lokal untuk aglomerasi di Musi Rawas, Sumatera Selatan.
Merasi adalah nama yang digunakan masyarakat setempat, seolah membentuk jembatan antara masa lalu yang penuh cerita kolonial dan masa kini yang dipenuhi berbagai tantangan baru. Kehidupan di daerah ini, yang dahulu didorong oleh transmigrasi, kini telah berubah drastis. Wilayah yang dulunya hanya hamparan sawah dengan sistem pengairan tradisional, kini terhubung dalam jaringan aglomerasi yang kompleks. Di sini, konflik kepentingan antara perkembangan ekonomi modern dan warisan agraria yang masih sangat kuat mulai muncul ke permukaan.
Dari Sawah ke Kolam, Petani dan Pemilik Kolam Bertikai
Seiring berkembangnya aglomerasi di wilayah ini, salah satu masalah yang kerap kali dihadapi adalah konflik air antara petani sawah dan pemilik kolam ikan. Air adalah nyawa bagi lahan pertanian, tapi di Merasi, air juga menjadi penopang bisnis kolam ikan yang sedang menjamur di desa-desa eks transmigrasi.
Suatu hari saya mendengar seorang petani tua berbicara keras di pinggir sawah. Ia mengeluhkan bagaimana air yang biasa mengalir ke sawahnya kini semakin sedikit karena saluran air sudah diambil alih oleh pemilik kolam ikan. "Dulu kita hanya perlu menunggu irigasi dari bendungan, sekarang air sudah direbut oleh kolam-kolam ini. Kami kehilangan hasil panen," keluhnya.
Konflik ini menjadi semakin parah ketika beberapa pemilik kolam mulai menggali sumur bor untuk kebutuhan kolam mereka. Padahal, sumur bor ini memperparah masalah ketersediaan air untuk pertanian. Tidak hanya di Kalibening, konflik serupa juga terjadi di berbagai desa lain di Merasi, terutama di daerah yang dulunya dikenal dengan nama SP1 dan SP2.
Ada semacam ironi yang tak bisa diabaikan---pembangunan yang dianggap sebagai penanda kemajuan justru membuat sebagian petani semakin terpinggirkan. Bagi petani, air adalah elemen vital bagi kelangsungan hidup mereka. Sementara bagi pemilik kolam ikan, air adalah aset bisnis. Konflik ini menjadi simbol ketegangan antara warisan pertanian di daerah transmigrasi dan ekonomi modern yang mulai menggeliat di Merasi.
Munculnya "Sawah-Taman" dan Fenomena Baru
Aglomerasi membawa perubahan besar, termasuk dalam cara masyarakat memanfaatkan lahan pertanian.
Lahan sawah yang dulunya hanya digunakan untuk bercocok tanam kini mulai berubah menjadi area bisnis. Beberapa fenomena yang menarik perhatian saya adalah bagaimana sebagian lahan sawah kini disulap menjadi tempat wisata kuliner yang unik. Salah satu contohnya adalah Mahaloka, AKB dan Pengangguran, sebuah konsep kuliner yang memadukan keindahan alam sawah dengan restoran modern di tengah-tengahnya. Anda bisa makan di tengah sawah sambil menikmati pemandangan hamparan hijau dan angin yang semilir, seolah menjadi cara baru untuk menghargai sawah sebagai bagian dari warisan agraria.
Tidak hanya Mahaloka, AKB dan Pengangguran, muncul juga beberapa restoran lain dengan konsep serupa di daerah Merasi. Restoran dengan desain taman, lengkap dengan kolam ikan dan saung di atas air, menjadi daya tarik baru yang memadukan sentuhan modern dengan alam pedesaan. Bisnis-bisnis seperti ini mulai tumbuh subur, menggantikan fungsi lahan pertanian tradisional.