Lihat ke Halaman Asli

Adib Abadi

Eklektik.

Berkah Tersembunyi di Balik Kata 'Cukup'

Diperbarui: 4 Oktober 2024   09:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ILUSTRASI | Sumber gambar: as-they-grow.com

Di dunia yang penuh dengan kebisingan iklan dan tekanan sosial untuk selalu memiliki lebih, kata "cukup" sering kali diabaikan.

Terlalu sederhana, terkesan pasif, dan seolah-olah tidak cocok dengan ambisi modern yang mendorong kita untuk terus berlari menuju puncak kesuksesan yang tidak pernah benar-benar ada. Namun, di balik kata ini, tersembunyi sebuah berkah yang kuat, yang mungkin bisa menyelamatkan kita dari kegilaan konsumerisme dan materialisme yang merajalela.

Menggali Makna 'Cukup'

Apa sebenarnya arti "cukup"? Bagi sebagian orang, cukup mungkin berarti memiliki rumah yang nyaman, makanan yang mengenyangkan, dan pekerjaan yang stabil.

Bagi yang lain, cukup mungkin hanyalah mampu menghabiskan waktu bersama keluarga tanpa harus khawatir tentang urusan pekerjaan. Namun, makna cukup sejatinya bersifat relatif dan personal. Ini bukan tentang standar materi, melainkan sebuah perasaan di dalam diri yang memberitahu bahwa kita sudah memiliki segala yang diperlukan untuk merasa bahagia dan tenang.

Melawan arus zaman, perasaan cukup adalah bentuk pemberontakan terhadap obsesi kita untuk selalu ingin lebih. Ketika kita berani berkata "cukup", kita melepaskan diri dari keinginan untuk terus menumpuk materi yang seringkali membuat kita merasa tidak pernah puas. Di sinilah letak kekuatan dari kata ini. Dalam kesederhanaan kata "cukup", kita menemukan kebebasan.

Cukup Sebagai Bentuk Pembebasan

Ada sebuah pepatah yang berbunyi, "Perasaan cukup tidak ditemukan dalam kekayaan, melainkan dalam kepuasan hati." Ungkapan ini menyiratkan bahwa sebesar apa pun harta atau kekuasaan yang kita miliki, tidak akan ada habisnya jika kita terus-terusan membandingkan diri dengan orang lain atau selalu ingin lebih. Perasaan cukup justru adalah kunci kebebasan sejati, yang membuat kita mampu melihat ke dalam dan menghargai apa yang telah kita capai.

Saya teringat sebuah momen ketika saya merasa begitu dikejar ambisi, terperangkap dalam pola pikir bahwa saya harus mencapai lebih banyak hal agar bisa dianggap sukses. Saya bekerja keras, terus mendorong diri, namun tetap saja merasa ada yang kurang. Ketika suatu hari saya duduk sendirian di teras rumah, memandang langit senja yang mulai meredup, saya merasakan sebuah ketenangan yang sudah lama hilang. Saat itu, saya sadar bahwa hidup saya, dengan segala pencapaiannya---besar maupun kecil---sebenarnya sudah cukup. Saya hanya belum berhenti sejenak untuk menyadarinya.

Menumbuhkan Kreativitas dalam Batasan Cukup

Ketika kita berani membatasi diri dengan merasa cukup, anehnya, kreativitas justru tumbuh. Dalam dunia yang selalu menuntut lebih, batasan adalah sahabat kita.

Dengan adanya batasan, kita dipaksa untuk berpikir lebih kreatif dalam memanfaatkan sumber daya yang kita miliki. Kita belajar untuk menemukan solusi-solusi baru dalam keterbatasan.

Lihat saja para seniman atau penulis yang menciptakan mahakarya bukan karena limpahan fasilitas, melainkan justru dari keterbatasan yang ada. Mereka merangkul konsep cukup dengan sepenuh hati. Ini adalah pelajaran bagi kita semua, bahwa dalam merasa cukup, kita tidak hanya membebaskan diri dari tekanan eksternal, tetapi juga membuka pintu untuk potensi kreatif yang lebih besar. Ketika segala sesuatu terasa cukup, pikiran kita menjadi lebih jernih, lebih fokus, dan lebih mampu menciptakan sesuatu yang bermakna.

Syukur, Penerimaan, dan Kepuasan Batin

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline