Lihat ke Halaman Asli

Adib Abadi

Eklektik.

Doom Spending: Ancam Masa Depan Anak

Diperbarui: 2 Oktober 2024   12:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ILUSTRASI | Sumber gambar: allprodad.com

Bagaimana Terjerat Hutang Saat Anak Masih Kecil Bisa Menghantui Masa Depan Mereka

Hidup di era modern dengan segala kemudahan finansial yang ditawarkan bisa menjadi pedang bermata dua. Fenomena seperti doom spending---kecenderungan menghabiskan uang secara impulsif sebagai pelarian dari tekanan hidup---tidak hanya mengancam stabilitas finansial seseorang, tetapi juga masa depan anak-anak mereka.

Generasi milenial dan Gen Z, yang kini mulai berkeluarga, berada di garis depan dalam menghadapi bahaya ini. Lalu, bagaimana jika orang tua, yang mestinya berfokus pada mendidik anak-anak mereka, justru terjebak dalam lingkaran hutang yang tampaknya tiada akhir?

Perilaku Doom Spending: Hadiah untuk Diri Sendiri atau Pelarian?

Sebagian besar dari kita mungkin pernah merasa ingin "menghadiahi" diri sendiri setelah melalui masa-masa sulit.

Bagi banyak orang tua muda, terutama dari kalangan milenial, dorongan untuk melakukan self-reward sering kali muncul sebagai bentuk pelampiasan dari trauma masa kecil atau kekecewaan yang dirasakan di masa lalu. "Saya dulu tidak bisa membeli ini, jadi sekarang saya berhak membelinya," adalah narasi umum yang beredar di kepala kita. Namun, masalahnya terletak pada saat perilaku ini berubah menjadi kebiasaan tidak sehat.

Dalam konteks keluarga muda, di mana kebutuhan anak kecil terus bertambah---mulai dari biaya pendidikan, kebutuhan kesehatan, hingga makanan dan pakaian---pola doom spending ini bisa berakibat fatal. Uang yang seharusnya digunakan untuk keperluan anak malah tersedot untuk membayar tagihan kartu kredit atau hutang konsumtif lainnya. Alih-alih menjadi sumber kebahagiaan jangka pendek, kebiasaan ini justru menyisakan beban finansial berkepanjangan.

Sebuah penelitian dari McKinsey & Company menunjukkan bahwa generasi milenial di Indonesia lebih rentan terhadap pengeluaran impulsif dibandingkan generasi sebelumnya. Mereka tumbuh dalam lingkungan yang mendewakan konsumerisme, di mana kemudahan berbelanja online dan promosi diskon besar-besaran terus menggoda. Hasilnya, banyak dari mereka terjebak dalam siklus gali lubang tutup lubang, hingga akhirnya terperosok dalam hutang yang semakin sulit dilunasi.

Gali Lubang, Tutup Lubang: Siklus yang Menguras Fisik dan Emosional

Ketika hutang mulai menumpuk, banyak orang tua yang merasa terjebak dalam siklus yang sulit dihindari.

Dari bulan ke bulan, mereka terpaksa memutar uang hanya untuk menutup tagihan yang datang tanpa henti. Tekanan ini tidak hanya berdampak pada kesehatan mental, tetapi juga pada kemampuan mereka dalam menjalankan tanggung jawab sebagai orang tua.

Bagaimana rasanya mendidik anak saat terlilit hutang? Banyak yang merasa dada mereka sesak, tidak hanya karena kecemasan finansial, tetapi juga karena rasa bersalah. Di satu sisi, mereka berjuang untuk menjaga agar anak-anak mereka tidak merasakan beban yang sama. Namun di sisi lain, ada perasaan rendah diri yang tak terelakkan karena ketidakmampuan memberikan yang terbaik untuk anak-anak mereka.

"Ketika anak saya bertanya mengapa kita tidak bisa berlibur seperti teman-temannya, saya merasa seperti gagal sebagai orang tua," ungkap salah satu ibu muda yang terjebak dalam lingkaran hutang akibat doom spending. Pertanyaan sederhana dari sang anak menjadi pengingat betapa rapuhnya kondisi finansial keluarga, meskipun orang tua berusaha keras untuk menutupi kelemahan tersebut.

Uang untuk Anak, Tapi Terpaksa untuk Bayar Hutang

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline