Lihat ke Halaman Asli

Adib Abadi

Eklektik.

Gen Z dan Dompet: Antara Flexing dan Healing

Diperbarui: 2 Oktober 2024   10:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: techinasia.com

"Dulu waktu kecil, saya jarang sekali keturutan beli ini itu. Barang-barang yang saya inginkan tak pernah terwujud karena keterbatasan keuangan keluarga. Kini, setelah saya bisa mencari uang sendiri, apa yang dulu tak bisa saya dapatkan, sekarang saya bisa beli"

Banyak dari kita, terutama anak muda di kelas pekerja, menghadapi dilema yang sama. 

Kondisi finansial yang lebih stabil dibandingkan masa kecil sering kali membawa kita pada fenomena yang disebut Doom Spanding---sebuah perilaku pengeluaran berlebih yang berakar pada rasa kurang yang terpendam selama masa kanak-kanak. Kita ingin menebus apa yang dulu tak bisa didapatkan, namun justru terjebak dalam siklus konsumsi tanpa henti. Di sinilah muncul konsep Loudbudgeting, sebagai jawaban yang mungkin. Namun, apakah ini solusi nyata atau sekadar tren yang dipicu FOMO?

Apa Itu Loudbudgeting?

Loudbudgeting adalah praktik membagikan secara terbuka anggaran pribadi di media sosial.

Ide utamanya adalah transparansi dan akuntabilitas, di mana seseorang memamerkan cara mereka mengelola keuangan, berapa yang mereka keluarkan, dan bagaimana mereka menyisihkan uang untuk berbagai pos pengeluaran. Fenomena ini sering kali muncul dari komunitas personal finance influencers yang mempromosikan gaya hidup finansial sehat dengan membuka rahasia budgeting mereka kepada publik.

Bagi sebagian orang, Loudbudgeting dianggap sebagai solusi praktis untuk menjaga disiplin keuangan. Dengan membagikan anggaran kepada orang lain, mereka merasa lebih bertanggung jawab atas pengeluaran mereka. Efek ini mirip dengan diet yang diumumkan kepada banyak orang, yang membuat seseorang lebih termotivasi untuk tetap konsisten.

Namun, pertanyaannya: apakah Loudbudgeting benar-benar efektif, atau hanya membuat kita lebih sadar diri karena ingin terlihat berhasil di mata orang lain? Ini adalah salah satu pertanyaan utama yang harus dipertimbangkan, terutama bagi generasi muda yang sudah terbiasa dengan gaya hidup serba publik di media sosial.

Doom Spanding dan Trauma Masa Kecil

Untuk memahami fenomena ini, kita perlu kembali ke akar masalah: Doom Spanding.

Istilah ini, yang diambil dari kata "dominant spending", mengacu pada kebiasaan pengeluaran yang didorong oleh emosi. Studi sosiologis dan psikologis menunjukkan bahwa pengeluaran berlebih sering kali berkaitan dengan trauma masa kecil, terutama pada individu yang tumbuh dalam kondisi ekonomi terbatas. Anak-anak yang tidak pernah bisa membeli apa yang mereka inginkan cenderung mengembangkan keinginan berlebihan untuk berbelanja ketika mereka memiliki penghasilan sendiri.

Menurut penelitian dari American Psychological Association, trauma masa kecil akibat kekurangan ekonomi dapat mempengaruhi cara seseorang melihat uang ketika dewasa. Mereka mungkin melihat uang sebagai cara untuk 'membayar' kebahagiaan yang dulu tak pernah dirasakan. "Ketika seseorang mulai menghasilkan uang sendiri, mereka sering kali merasa memiliki kebebasan untuk membeli apapun yang mereka inginkan," ujar Dr. Samantha Stein, seorang psikolog finansial. "Namun, tanpa disadari, mereka terjebak dalam siklus yang didorong oleh emosi---di mana belanja menjadi pelampiasan atas perasaan kehilangan atau rasa kurang dari masa kecil."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline