Lihat ke Halaman Asli

Adib Abadi

Eklektik. Maverick. Freetinker.

Beli Gelar: Tren Kosmetik Baru di Kalangan Politisi dan Selebriti?

Diperbarui: 1 Oktober 2024   12:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: dianegottsman.com

Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia dihebohkan oleh fenomena baru yang melibatkan politisi, pejabat, dan selebriti---seakan-akan gelar akademik tak lebih dari status simbolis yang mudah dibeli.

Tak hanya di level lokal, bahkan para pejabat daerah dan selebritis papan atas terlibat dalam fenomena ini. Dengan segala keterbatasan akademik yang mereka miliki, banyak dari mereka yang "tiba-tiba" mengklaim gelar master atau doktor, meski tanpa kapabilitas atau keahlian yang mendukung.

Jika dulu gelar akademik adalah bukti dari proses pembelajaran yang panjang dan serius, kini ia kerap diperdagangkan seperti komoditas mewah, mengaburkan makna pendidikan itu sendiri. Fenomena ini membuka banyak pertanyaan: Kenapa kampus-kampus mau menerima mereka? Kenapa program studi lanjutan begitu mudah diakses oleh orang-orang yang jelas tidak layak? Dan lebih penting lagi, apa sebenarnya yang mereka kejar dengan membeli gelar ini?

Politik dan Pendidikan: Kolaborasi yang Mengerikan

Tak dapat dipungkiri, Indonesia memiliki sejarah panjang yang membenturkan politik dan pendidikan. 

Di masa lalu, gelar akademik sering digunakan untuk menambah legitimasi seseorang dalam dunia pemerintahan. Pada era Orde Baru, misalnya, banyak pejabat yang memanfaatkan gelar akademik sebagai alat administratif untuk mendapatkan kenaikan pangkat atau jabatan yang lebih tinggi. Meski begitu, motif-motif ini setidaknya masih terkait dengan tujuan karier dan peningkatan status profesional.

Namun, di era modern ini, fenomena membeli gelar bukan hanya soal memenuhi syarat administratif. Sebagian besar dari mereka yang terlibat dalam praktik ini sudah berada di puncak karier mereka---baik sebagai politisi, selebritis, maupun pengusaha sukses. Artinya, mereka tidak benar-benar membutuhkan gelar untuk mencapai status yang lebih tinggi. Ini menimbulkan pertanyaan: jika bukan untuk karier atau kenaikan jabatan, apa yang sebenarnya mereka cari?

Kampus: Pengemis atau Pedagang?

Tak bisa diabaikan, bahwa kampus-kampus yang seharusnya menjadi benteng pendidikan dan riset berkualitas justru terjebak dalam lingkaran komersialisasi gelar. 

Program studi pascasarjana, terutama yang menawarkan gelar master dan doktor, kini lebih terlihat seperti produk yang ditawarkan dengan harga tertentu. Kampus, yang seharusnya mengedepankan integritas akademik, tampaknya kini sibuk mencari mahasiswa demi mendapatkan aliran dana tambahan.

Pada dasarnya, universitas memang membutuhkan pemasukan untuk operasional dan riset. Namun, menjual gelar akademik kepada mereka yang tidak memiliki kapabilitas jelas merupakan pengkhianatan terhadap nilai pendidikan itu sendiri. Menurut data dari survei yang dilakukan oleh Indonesian Education Monitor pada tahun 2022, sekitar 25% dari lulusan program pascasarjana di beberapa universitas swasta di Indonesia mengakui bahwa mereka tidak pernah menyelesaikan tesis mereka sendiri. Banyak di antara mereka hanya "membeli" tesis dari pihak ketiga.

Bahkan lebih parah lagi, tidak hanya kampus swasta yang terlibat dalam fenomena ini. Universitas negeri terkemuka, yang seharusnya menjadi role model dalam pendidikan tinggi, juga dikabarkan ikut mengobral gelar kepada mereka yang memiliki uang lebih. Misalnya, sebuah investigasi yang dilakukan oleh Tempo pada tahun 2021 mengungkap bahwa beberapa pejabat daerah menerima gelar doktor dari universitas negeri tanpa benar-benar mengikuti program studi yang lengkap. Skandal ini tentu mencoreng kredibilitas dunia pendidikan tinggi di Indonesia.

Cosplay Akademik: Kesenangan Absurd di Tengah Kehampaan

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline