Ada masa ketika setiap akhir September, langit yang mulai mendung tidak hanya membawa isyarat hujan, tetapi juga sebuah cerita yang selalu diputar kembali di layar kaca.
Di rumah kami yang sederhana, dengan televisi tua yang menyiarkan gambar hitam putih, aku dan keluargaku duduk terpaku menyaksikan film Pengkhianatan G30S/PKI. Tahun-tahun itu, sebelum 1998, film ini bukan sekadar hiburan atau pelajaran sejarah; ia hadir sebagai ritual.
Begitu pasti, begitu akrab, namun selalu memunculkan rasa takut yang samar. Ketika gerakan bayonet bergerak dalam kelam, ketika wajah-wajah serdadu mengeras dalam dingin malam, aku bertanya-tanya, "Apakah semua cerita harus diceritakan dengan luka sebesar itu?"
Bagi seorang anak remaja seperti aku kala itu, Arifin C. Noer adalah nama yang melayang-layang tanpa bentuk jelas. Kami hanya mengenal film itu, tanpa tahu siapa yang mengarahkan narasi yang begitu penuh ketegangan dan dramatisasi sejarah. Waktu itu, sosok Noer tidak penting---yang lebih penting adalah citra, gambar, dan emosi yang ia hasilkan dari film yang ditonton berjuta-juta orang dengan hati berdegup-degup.
Namun, seiring berjalannya waktu, ketika masa Reformasi membuka lembar-lembar sejarah yang lebih kritis, aku mulai bertanya, siapakah Arifin C. Noer sebenarnya? Apa yang ia pikirkan ketika menarasikan salah satu babak paling kelam dalam sejarah Indonesia dengan cara seperti itu?
Arifin dan Masa Lalu yang Berkabut
Arifin C. Noer, ketika diingat hari ini, adalah sosok yang penuh paradoks. Di satu sisi, ia adalah sutradara yang bekerja untuk pemerintah, merealisasikan propaganda Orde Baru dalam bentuk sinematik yang ikonik. Namun, di sisi lain, ia juga seorang seniman yang merasakan pergolakan batin dalam karyanya. Bagaimana mungkin seorang seniman teater dengan naluri artistik yang tajam menyutradarai film yang dengan jelas menjadi alat politik?
Noer, sebagaimana dituturkan oleh orang-orang terdekatnya, adalah pria yang kompleks, tetapi sederhana dalam caranya melihat dunia. Ia lahir dari tanah Jawa, dengan segala kebijaksanaan kuno yang mengalir dalam darahnya.
Baginya, seni bukan hanya soal estetika, tetapi sebuah cara untuk berbicara kepada orang-orang, kepada bangsa. Ia adalah saksi dari sebuah zaman yang bergolak, sebuah masa di mana garis antara benar dan salah kabur, diselimuti oleh propaganda dan rasa takut.
Noer, dalam banyak hal, hanyalah manusia yang mencoba memahami dunianya melalui seni. Dan melalui film Pengkhianatan G30S/PKI, ia mungkin sedang mencoba menafsirkan ulang sejarah, walaupun dalam kerangka yang telah disusun oleh kekuasaan.
Ada yang mengatakan bahwa Noer menghadapi dilema moral besar saat menerima proyek tersebut. Bagaimana mungkin seorang seniman idealis seperti dia bersepakat untuk memvisualisasikan sejarah yang telah diatur sedemikian rupa? Namun, seperti kebanyakan manusia, Noer mungkin merasa terperangkap dalam arus zamannya.