Ketika tanggal 27 November 2024 nanti tiba, ratusan juta orang di seluruh Indonesia akan berjalan menuju tempat pemungutan suara.
Sebagian besar dari mereka, seperti biasa, dengan langkah-langkah yang terburu-buru, pakaian lusuh, dan wajah letih. Mereka tidak datang dengan ekspektasi besar. Tidak ada gemuruh dalam hati mereka, tidak ada riak harapan yang tampak di mata. Bagi banyak orang, Pilkada bukanlah sebuah ritual sakral yang dibumbui ideologi besar atau janji muluk perubahan. Bagi mereka, Pilkada hanyalah kewajiban, rutinitas lima tahunan yang datang seperti musim hujan, kadang disambut, kadang ditakuti.
Tetapi di balik langkah-langkah itu, di balik tangan yang mencoblos di balik bilik suara, ada sebuah dunia makna yang lebih dalam. Sebuah realitas yang terus bergerak, berubah, dan memengaruhi cara kita melihat demokrasi. Pilkada, bukan sekadar pemilihan kepala daerah. Di bawahnya, tersembunyi tanda-tanda, simbol-simbol, dan makna-makna yang perlu kita baca, kita pahami, dan kita renungkan.
Tanda-Tanda di Tengah Masyarakat: Antara Yang Nampak dan Yang Tidak
Jika kita berjalan di jalan-jalan utama kota atau bahkan desa, kita akan dengan mudah menemukan wajah-wajah para calon pemimpin terpampang di baliho besar. Mereka tersenyum, tampak ramah, dan selalu menyisipkan kata-kata klise: Bersama kita bisa, Menuju perubahan, Membangun dengan hati. Seolah-olah, senyuman dan kata-kata itu cukup untuk menjawab segala persoalan yang menjerat daerah-daerah di Indonesia.
Tetapi mari kita berhenti sejenak. Mari kita mencoba memahami, apa yang sebenarnya tersirat di balik gambar-gambar besar itu?
Dalam semiotika, apa yang kita lihat adalah sebuah tanda. Menurut Ferdinand de Saussure, tanda terdiri dari dua elemen: penanda (signifier) dan petanda (signified). Wajah-wajah di baliho itu adalah penanda. Tetapi petanda, makna yang disematkan kepada wajah itu, bisa bermacam-macam. Senyum yang ramah bisa berarti janji kemajuan, tetapi bisa juga hanyalah kedok dari ambisi kekuasaan. Warna biru yang mendominasi latar baliho bisa diartikan sebagai ketenangan, kestabilan, atau ketegasan, tetapi bisa juga sebatas pilihan estetika yang tidak memiliki makna lebih dalam.
Kita hidup dalam masyarakat yang penuh dengan tanda-tanda. Baliho, kaos, spanduk, hingga iklan kampanye di media sosial semuanya adalah tanda-tanda yang dikirimkan oleh para kandidat. Namun, tidak semua tanda itu memiliki makna yang jelas. Bagi sebagian masyarakat, tanda-tanda itu menjadi ambigu, tak tentu arah. Kita sering kali bertanya-tanya, "Apakah yang mereka tawarkan lebih dari sekadar gambar di baliho itu?"
Dalam bukunya, Mythologies, Roland Barthes menjelaskan bahwa tanda-tanda dalam masyarakat modern sering kali dimanipulasi untuk membentuk mitos. Mitos yang diciptakan bukanlah sesuatu yang supernatural, melainkan sebuah cara pandang yang dibentuk melalui tanda-tanda. Pilkada 2024 ini adalah contoh nyata bagaimana tanda-tanda yang ada, dari wajah-wajah di baliho hingga slogan-slogan kampanye, berusaha menciptakan sebuah mitos: mitos bahwa pemimpin tertentu dapat membawa perubahan, bahwa mereka berbeda dari yang lain, padahal mungkin semua tampak serupa di dalam.
Partisipasi Publik: Konsumen atau Produsen Tanda?
Namun, mari kita lihat dari sisi lain. Pilkada bukan hanya soal bagaimana calon pemimpin memasarkan diri mereka melalui tanda-tanda. Ini juga soal bagaimana masyarakat, sebagai penerima tanda, bereaksi terhadapnya. Apakah masyarakat Indonesia hanya menjadi konsumen tanda yang pasif, ataukah mereka juga bisa menjadi produsen tanda-tanda baru?
Dalam dunia yang semakin terhubung dengan internet dan media sosial, masyarakat sebenarnya memiliki lebih banyak ruang untuk menciptakan narasi mereka sendiri. Gerakan akar rumput yang tumbuh di dunia maya sering kali menjadi penyeimbang narasi resmi dari para kandidat. Di media sosial, meme politik, sindiran, hingga kritik terbuka terhadap kandidat sering kali muncul lebih cepat dan menyebar lebih luas dibandingkan kampanye resmi itu sendiri. Ini adalah bentuk partisipasi yang berbeda dari yang dulu ada.
Dulu, dalam Pilkada atau Pemilu, masyarakat hanya bisa menerima informasi dari media resmi. Tapi sekarang, mereka bisa menciptakan tanda-tanda mereka sendiri, bahkan membalikkan makna tanda-tanda yang dikirimkan oleh para politisi. Seperti yang dikatakan oleh Umberto Eco, tanda-tanda itu bersifat terbuka---mereka selalu bisa ditafsirkan ulang oleh penerimanya. Jadi, ketika seorang kandidat menampilkan diri sebagai pemimpin yang bersih dan tegas, masyarakat bisa saja menciptakan tanda tandingan yang menunjukkan sisi lain dari calon tersebut. Ini adalah bentuk kontrol publik terhadap narasi politik.