Lihat ke Halaman Asli

Adib Abadi

TERVERIFIKASI

Eklektik

Apakah Kita Perlu Belajar Demokrasi dari Pemilihan Ketua Osis?

Diperbarui: 26 September 2024   15:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di sebuah SMA di pinggiran Jakarta, suasana aula sekolah bergemuruh.

Dua calon Ketua OSIS berdiri di atas panggung, siap beradu argumen di hadapan teman-teman mereka. Debat ini jauh dari glamor, tidak ada jurnalis yang meliput, dan tidak ada tim kampanye mahal di belakang layar. Namun, yang terjadi di sini adalah bentuk paling murni dari demokrasi -- suatu sistem yang mungkin telah kita lupakan di tengah kompleksitas politik orang dewasa.

Debat pun dimulai. Calon pertama, seorang siswa yang rajin, berbicara tentang program kebersihan sekolah dan pengadaan tempat sampah tambahan. Di sebelahnya, pesaingnya, seorang siswa dengan kepedulian sosial tinggi, menawarkan program beasiswa untuk siswa berprestasi namun kurang mampu. Mereka berbicara dari hati, dengan fokus pada hal-hal nyata yang mereka tahu akan mempengaruhi kehidupan sehari-hari teman-teman mereka.

Sementara itu, di tempat lain di Indonesia, persiapan menuju Pilkada 2024 sedang berlangsung. Para calon kepala daerah sedang sibuk melakukan kampanye, mengunjungi pasar tradisional, bertemu dengan petani, berbicara di hadapan pendukung. Setiap tindakan mereka disorot media, setiap janji mereka dikemas dengan rapi. Gimik politik menghiasi layar televisi dan media sosial. Dalam keriuhan itu, suara dan harapan rakyat sering kali tenggelam dalam jargon politik.

Apa yang bisa kita pelajari dari pemilihan Ketua OSIS yang sederhana dan tulus ini? Apakah, sebagai peserta dan pemilih Pilkada, kita perlu mengambil pelajaran dari model demokrasi yang dihidupkan di sekolah-sekolah? Mungkin jawabannya adalah ya, karena di balik kesederhanaannya, terdapat esensi demokrasi yang sering kali hilang dalam hiruk-pikuk politik orang dewasa.

Demokrasi di Tingkat Sekolah

Pemilihan Ketua OSIS bukan hanya soal siapa yang paling populer atau siapa yang bisa menawarkan janji-janji muluk. Di ruang kelas, para pemilih tahu siapa calon-calon ini dengan sangat baik. Mereka duduk bersama setiap hari, mengerjakan tugas kelompok, berdebat tentang tugas rumah, bahkan mungkin pernah beradu argumen tentang siapa yang harus memimpin proyek kelas. Koneksi personal ini menciptakan lingkungan di mana janji-janji politik menjadi lebih konkret, lebih bisa diukur, dan lebih mudah dipertanggungjawabkan.

Sebaliknya, dalam Pilkada, ada jarak yang cukup besar antara kandidat dan pemilih. Para kandidat sering kali hadir di kehidupan pemilih hanya sebagai wajah di baliho atau video kampanye yang diedit dengan cermat. Bahkan ketika mereka mencoba turun ke lapangan untuk bertemu rakyat, interaksi yang terjadi sering kali terasa dangkal dan penuh dengan formalitas. Di sini, di ruang politik orang dewasa, hubungan antara kandidat dan pemilih kehilangan sentuhan personal yang sangat penting.

Pemilihan OSIS mungkin tampak sederhana, tapi justru dalam kesederhanaan itulah letak kekuatannya. Setiap janji yang disampaikan terasa lebih bisa dijangkau dan lebih relevan dengan kehidupan sehari-hari. Sementara di tingkat Pilkada, janji-janji besar tentang pembangunan infrastruktur atau proyek-proyek ambisius sering kali terasa jauh dari kenyataan, dan rakyat yang mendengarnya tidak selalu yakin apakah janji-janji itu akan terwujud.

Transparansi dan Kejujuran

Ada satu hal lagi yang membuat pemilihan Ketua OSIS begitu menarik: transparansi. Proses demokrasi di sekolah tidak diwarnai oleh kampanye hitam, taktik politik kotor, atau permainan uang. Para kandidat berkompetisi secara jujur, dan mereka tahu bahwa setiap suara berarti. Tidak ada tekanan dari partai, tidak ada janji tersembunyi, dan tidak ada 'tawaran istimewa' di balik layar. Ini adalah demokrasi yang murni, di mana para pemilih memilih berdasarkan hati nurani, bukan atas dasar tekanan atau uang.

Dalam Pilkada, sebaliknya, proses kampanye sering kali diwarnai oleh ketidakjelasan. Meski regulasi pemilu semakin ketat, kita sering mendengar tentang kasus politik uang, janji-janji manis yang tak mungkin direalisasikan, atau kampanye hitam yang merusak reputasi kandidat. Di balik layar, tim kampanye yang terdiri dari para ahli strategi bekerja keras untuk memastikan bahwa setiap langkah, setiap pernyataan, dan setiap janji dikemas dengan cermat agar dapat memenangkan hati rakyat. Sayangnya, sering kali transparansi yang kita harapkan dari proses demokrasi ini justru menguap.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline