Lihat ke Halaman Asli

Adib Abadi

TERVERIFIKASI

Eklektik

Pengaruh Era Post-Truth dalam Pilkada Serentak 2024

Diperbarui: 28 September 2024   14:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: exploringyourmind.com 

Indonesia tengah berada di ambang salah satu momen terpenting dalam sejarah demokrasinya. 

Pilkada Serentak 2024, dengan 1.553 pasangan calon yang bersaing di 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota, menjadi arena di mana rakyat memilih pemimpin daerah mereka untuk lima tahun ke depan. Namun, di balik dinamika politik ini, terselip sebuah pertanyaan besar: sejauh mana fakta dan pengetahuan memainkan peran dalam menentukan hasil pemilihan? Atau apakah kita, sebagai bangsa, telah terperangkap dalam pusaran era post-truth?

Istilah post-truth merujuk pada kondisi di mana fakta objektif memiliki pengaruh yang lebih kecil dibandingkan emosi dan keyakinan personal dalam membentuk opini publik. Era ini ditandai oleh dominasi media sosial, di mana informasi yang tidak akurat, hoaks, dan narasi yang menggugah emosi lebih cepat diterima publik daripada kebenaran. Di Indonesia, post-truth telah menjadi realitas sehari-hari, terutama menjelang Pilkada Serentak 2024.

Ironi Post-Truth: Ketika yang Benar Sendiri Dianggap Salah

Ada sebuah ironi yang muncul dalam perbincangan politik di era post-truth: ketika seseorang berbicara berdasarkan fakta yang benar, tetapi bertentangan dengan narasi populer, ia dianggap salah. Di sisi lain, ketika suatu informasi yang salah didukung oleh banyak orang, maka informasi itu seolah-olah menjadi benar. Fenomena ini bisa kita lihat dengan jelas di ranah politik, terutama dalam kampanye politik yang penuh dengan gimmick, teori konspirasi, dan janji-janji populis.

Pilkada Serentak 2024 bukan hanya tentang memilih siapa yang akan memimpin daerah kita, tetapi juga tentang bagaimana proses pemilihan itu sendiri dikendalikan. Di era post-truth, kebenaran tidak lagi menjadi prioritas, melainkan siapa yang bisa menciptakan narasi yang paling menarik dan viral. Pada titik inilah demokrasi kita terancam.

Sejak Pilkada Serentak pertama kali diadakan pada 2015, penggunaan media sosial sebagai alat kampanye terus meningkat. Para politisi dengan cepat menyadari bahwa kampanye konvensional, yang berfokus pada debat substansial dan program kerja, tidak lagi menjadi faktor penentu. Sebaliknya, konten yang viral dan emosional lebih mudah mendapatkan perhatian masyarakat. Tak heran jika di Pilkada 2024 ini, media sosial seperti Facebook, Twitter, hingga TikTok, menjadi medan pertempuran utama dalam mempengaruhi opini publik.

Politik Identitas dan Emosi Kolektif

Salah satu ciri utama dari era post-truth adalah politik identitas, di mana isu-isu ras, agama, dan kelompok etnis dieksploitasi untuk mendapatkan dukungan pemilih. Di banyak daerah di Indonesia, calon kepala daerah yang pandai memainkan sentimen agama dan identitas tertentu sering kali berhasil meraih simpati masyarakat, meskipun mereka tidak memiliki rekam jejak yang jelas dalam kepemimpinan. Sebagai contoh, dalam Pilkada sebelumnya, kita telah melihat bagaimana kampanye berbasis agama dan ras berhasil membentuk narasi besar yang mempengaruhi pilihan pemilih.

Politik identitas bukan hanya soal memanfaatkan emosi kelompok, tetapi juga tentang menciptakan pembagian yang tajam antara "kami" dan "mereka". Kandidat yang pandai memposisikan diri sebagai "wakil rakyat kecil" atau "pembela agama" sering kali mengabaikan fakta-fakta penting tentang kebijakan publik, ekonomi, atau tata kelola pemerintahan. Yang lebih diutamakan adalah kemampuan mereka memobilisasi emosi kolektif. Dan di era post-truth, emosi ini bisa lebih berbahaya daripada fakta yang terabaikan.

Peran Media Sosial dan Buzzer

Dalam Pilkada Serentak 2024, media sosial akan menjadi elemen kunci dalam proses kampanye. Berbeda dengan masa lalu, di mana kampanye dilakukan melalui debat terbuka, pertemuan langsung dengan pemilih, atau iklan di media massa, kini buzzer dan influencer mengambil alih panggung utama. Mereka adalah aktor-aktor yang bekerja di belakang layar, membentuk narasi yang sesuai dengan kepentingan politis calon yang mereka dukung. Dengan keahlian memanipulasi algoritma media sosial, para buzzer ini mampu membuat narasi tertentu menjadi viral, terlepas dari kebenaran atau ketidakbenarannya.

Dalam survei terbaru, lebih dari 70 persen pemilih muda Indonesia mengaku mendapat informasi politik dari media sosial. Angka ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh media sosial dalam membentuk opini politik. Namun, di sisi lain, media sosial juga menjadi ladang subur bagi penyebaran hoaks dan disinformasi. Informasi yang benar sering kali tersesat di antara kebisingan narasi-narasi palsu yang lebih mudah menyebar karena menggugah emosi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline