Lihat ke Halaman Asli

Adib Abadi

TERVERIFIKASI

Eklektik

Pilkada 2024: Ancaman Populisme dan Buzzer dalam Demokrasi Kita

Diperbarui: 28 September 2024   14:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi politik populis (Sumber: KOMPAS/HERYUNANTO)

Pada 27 November 2024 mendatang, Pilkada Serentak akan kembali diselenggarakan di 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota di Indonesia.

Sebanyak 1.553 pasangan calon kepala daerah akan berlaga, dengan 37 pasangan calon (paslon) tunggal yang akan menghadapi "kotak kosong"---fenomena yang semakin memperlihatkan pengaruh kekuasaan terhadap dinamika politik lokal.

Dalam suasana demokrasi ini, kita dihadapkan pada tantangan besar: populisme yang terus berkembang dan semakin diperkuat oleh buzzer politik, yang bekerja di balik radar namun memiliki pengaruh signifikan dalam menggiring opini publik.

Populisme di Tengah Pilkada: Narasi 'Pemimpin Rakyat'

Populisme menjadi narasi dominan yang kerap digunakan oleh calon kepala daerah untuk memposisikan diri sebagai 'pemimpin rakyat sejati'.

Pemimpin populis biasanya tampil sebagai sosok karismatik yang menggambarkan dirinya sebagai perwakilan langsung dari rakyat kecil, siap berjuang melawan elit yang dianggap korup dan tidak berpihak pada kepentingan rakyat.

Di Pilkada 2024 ini, kita tidak akan luput dari narasi-narasi yang memancing emosi dan harapan, terutama di daerah-daerah yang memiliki tingkat kemiskinan tinggi atau merasa termarjinalkan oleh kebijakan pusat.

Namun, Paul D. Kenny menjelaskan ada dua pendekatan berbeda terhadap populisme: sebagai ideologi yang melekat pada gerakan politik dan sebagai alat atau senjata politik.

Populisme sebagai ideologi mengusung konsep 'kami' melawan 'mereka'---di mana rakyat berjuang melawan segelintir elit. Di sisi lain, populisme sebagai senjata adalah cara para politisi memanfaatkan ketidakpuasan masyarakat untuk meraih kekuasaan, tanpa benar-benar menawarkan solusi konkret.

Dalam Pilkada 2024, populisme sebagai senjata politik terlihat jelas, terutama di daerah-daerah yang rentan. Narasi populis dimanfaatkan untuk menarik simpati dengan memainkan isu-isu lokal yang sensitif, seperti ketimpangan ekonomi, konflik agraria, atau ketidakadilan pelayanan publik.

Tetapi yang membuat narasi populis ini semakin kuat adalah peran buzzer yang memperkuat narasi tersebut di berbagai platform media sosial, termasuk TikTok.

Buzzer: Senjata di Era Digital

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline