Pagi di Jakarta selalu sibuk. Di sepanjang jalan-jalan utama, arus kendaraan tak pernah sepi. Mobil-mobil mewah bersisian dengan bus kota yang penuh sesak. Di balik semua itu, ada narasi yang tak terlihat oleh mata---jurang lebar antara mereka yang hidup dalam kemewahan dan yang bertahan dalam keterbatasan. Jurang ini bukan hanya soal pendapatan, tetapi juga soal bagaimana orangtua di berbagai lapisan sosial-ekonomi membesarkan anak-anak mereka.
Di Indonesia, pola asuh tidak pernah hanya sekadar tentang kasih sayang atau peran orangtua dalam mendidik anak-anak. Faktor ekonomi memengaruhi segala hal, mulai dari pilihan pendidikan hingga cara orangtua melihat masa depan anak-anak mereka. Dan di sini, di antara gang-gang sempit di pinggiran Jakarta dan apartemen-apartemen mewah di pusat kota, kisah tentang kesenjangan sosial yang mempengaruhi pola asuh mulai terungkap.
Dua Dunia, Dua Pilihan
Di apartemen mewah di kawasan SCBD, seorang eksekutif muda sibuk mempersiapkan hari-harinya. Dengan dua anak yang masih bersekolah, agendanya dipenuhi dengan kegiatan ekstrakurikuler untuk anak-anaknya. "Anak-anak saya harus siap bersaing," katanya. Mereka terdaftar dalam les privat matematika, kursus piano, hingga pelajaran bahasa Inggris dengan tutor dari luar negeri. "Mereka butuh lebih dari sekadar sekolah. Dunia sekarang lebih kompetitif. Kami harus mempersiapkan mereka sejak dini."
Sebaliknya, Fatimah, seorang ibu dua anak yang tinggal di kawasan Cipinang, berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bekerja sebagai buruh garmen, gaji yang ia terima tidak cukup untuk membayar les atau kursus tambahan bagi anak-anaknya. "Anak-anak saya membantu di rumah sejak kecil," katanya dengan senyum getir. "Tidak ada uang untuk hal-hal seperti bimbingan belajar. Kami hanya fokus pada bagaimana bertahan hidup."
Perbedaan ini bukan sekadar soal pilihan pendidikan. Ini adalah cerminan dari realitas yang mereka hadapi. Orangtua di kelas atas melihat masa depan sebagai sesuatu yang harus dipersiapkan dengan teliti, penuh perencanaan, dan akses tak terbatas pada sumber daya.
Sedangkan di kelas pekerja, pola asuh lebih banyak terkait dengan kebutuhan dasar: makanan, tempat tinggal, dan bagaimana anak-anak bisa bertahan di tengah ketidakpastian.
Beban Kesenjangan Sosial
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa perbedaan sosial-ekonomi memengaruhi pola pikir orang tua dalam mendidik anak. Bagi keluarga dari kelas menengah atas, pendidikan seringkali menjadi instrumen untuk mempertahankan atau bahkan meningkatkan status sosial mereka. Sekolah internasional dengan kurikulum Cambridge atau IB bukan hanya sekadar pilihan akademik, tetapi juga simbol prestise. Orangtua dari kalangan ini merasa perlu memberikan yang terbaik untuk anak-anak mereka, tidak peduli berapa pun biayanya.
Di sisi lain, bagi keluarga dengan penghasilan rendah, pendidikan sering kali dipandang sebagai satu-satunya jalan keluar dari kemiskinan. Namun, kenyataan berkata lain: biaya pendidikan berkualitas seringkali tidak terjangkau. Fatimah, misalnya, hanya bisa berharap anak-anaknya bisa menyelesaikan sekolah menengah. "Saya ingin mereka bisa sekolah setinggi mungkin, tapi uang selalu menjadi masalah," ungkapnya.
Anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah juga menghadapi tantangan lain. Mereka sering dipaksa untuk tumbuh dewasa lebih cepat, dengan beban tanggung jawab yang lebih besar di rumah. Tugas-tugas rumah tangga, membantu ekonomi keluarga, dan terkadang bekerja paruh waktu adalah bagian dari kehidupan mereka sehari-hari. Bagi keluarga seperti Fatimah, pola asuh bukan hanya tentang kasih sayang, tetapi juga tentang kelangsungan hidup.
Strategi Bertahan Hidup
Ketidaksetaraan dalam pola asuh ini mencerminkan realitas keras yang dihadapi keluarga-keluarga di Indonesia. Bagi mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan, fokus utama adalah bertahan hidup. Orangtua dari latar belakang ekonomi rendah sering kali mengajarkan anak-anak mereka untuk mengatasi kesulitan sejak usia dini. "Kamu harus belajar bertahan. Kehidupan ini keras," pesan yang disampaikan oleh para orangtua seperti Fatimah kepada anak-anaknya.
Di kelas pekerja, anak-anak diajarkan bahwa ketidakpastian adalah bagian dari hidup. Mereka harus bisa beradaptasi dengan situasi sulit, belajar bekerja keras, dan menghadapi kenyataan pahit bahwa tidak semua mimpi dapat diwujudkan. Pola asuh ini berpusat pada survival---bagaimana anak-anak bisa mandiri lebih cepat dan membantu keluarga.