Suatu sore bada Magrib, saya memenuhi undangan yasinan rutin di rumah tetangga. Setelah tuntas membaca doa, saya duduk bersama beberapa teman dan tetangga, menikmati kopi sembari ngobrol ngalor ngidul. Seperti biasa, percakapan berbelok dari topik politik nasional hingga persoalan-persoalan sehari-hari yang menyentuh sendi kehidupan kampung. Namun sore itu, percakapan menyoroti hal yang lebih gelap, lebih nyata---bullying.
Salah satu teman saya, pria tegap dengan perawakan yang mencerminkan hidup kerasnya, nyletuk. "Kalau aku, mending anakku jadi pelaku daripada korban," ucapnya tanpa beban. "Kalau ada yang mulai duluan, pukul balik aja." Semangatnya seperti motor tanpa rem, tak berhenti hingga ia menceritakan bagaimana anaknya kini rajin latihan karate. "Tapi, yang penting jangan bikin gara-gara dulu," lanjutnya, seolah itu menjadi landasan moral yang cukup untuk membenarkan tindak kekerasan.
Dalam perjalanan pulang, kata-katanya berputar di kepala saya. Ada ketegangan moral yang tak bisa saya abaikan. Di satu sisi, saya memahami insting orang tua yang ingin melindungi anaknya dari bahaya. Di sisi lain, apa ini solusi yang tepat? Setiba di rumah, saya membuka ponsel dan mengetikkan kata 'bullying' di TikTok. Deretan video yang muncul memperlihatkan kisah-kisah korban bullying dengan segala kompleksitasnya. Salah satu video yang membuat saya terdiam lama adalah cerita dari seorang dokter yang menceritakan masa lalunya sebagai korban bullying.
"Saya dibilang dekil seperti babi," ujarnya dengan wajah tenang, meski jelas terasa beban yang ia bawa. "Saya ingat pesan orang tua: memaafkan lebih baik. Tapi, apa yang terjadi? Yang tadinya hanya satu orang, besoknya sepuluh orang ikut-ikutan. Akhirnya, selama tiga tahun penuh, saya jadi bahan tertawaan seluruh sekolah." Ia menambahkan, trauma itu membekas hingga sekarang. Sebuah pesan yang dingin, tetapi nyata: kadang, memaafkan tidak menyelesaikan masalah.
Menghadapi Realitas yang Tak Nyaman
Sebagai orang tua, situasi seperti ini meninggalkan kita di persimpangan jalan. Apakah kita harus mengajarkan anak untuk berdiam diri dan menerima, dengan harapan dunia akan berubah lebih baik? Atau, seperti teman saya tadi, membekali anak dengan keterampilan bertahan, bahkan menyerang, ketika situasi tak terkendali?
Namun, ada satu hal yang pasti: tidak ada rumus ajaib dalam menghadapi bullying. Data dari APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) menunjukkan bahwa 49% pengguna internet di Indonesia pernah mengalami cyberbullying, dan dampaknya bisa jauh lebih dalam dari yang terlihat di permukaan---trauma, depresi, hingga kehilangan rasa percaya diri yang menghancurkan masa depan seseorang. Kita, sebagai orang tua, tidak bisa hanya diam, tetapi juga tak bisa mengandalkan kekerasan sebagai solusi.
Langkah Nyata Orang Tua: Bukan Diam, Bukan Kekerasan
Saretta Lee, seorang ahli di bidang kesehatan mental anak, pernah mengatakan bahwa empat dari lima remaja yang ia temui di kliniknya mengalami bullying. Angka itu mengerikan, namun sayangnya tidak mengejutkan. Bullying sering kali terjadi secara diam-diam, berulang, dengan niat untuk melukai dan mempermalukan korban. Dalam banyak kasus, korban memilih diam, takut jika berbicara hanya akan memperburuk situasi.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan sebagai orang tua? Pertama, mendengarkan. Lee menekankan bahwa korban bullying sering merasa sendirian, terisolasi. Mereka sulit mengungkapkan apa yang terjadi, karena masalah ini terasa lebih besar daripada yang bisa mereka ekspresikan. Kadang, cara terbaik untuk memulai percakapan bukan dengan pertanyaan langsung, melainkan dengan berada di dekat mereka. Entah itu saat dalam perjalanan pulang sekolah, atau saat makan malam bersama.
Kedua, penting bagi kita untuk menegaskan bahwa anak kita tidak bersalah. Bullying sering kali membuat korban merasa bahwa mereka penyebab dari masalah itu. Sebagai orang tua, kita harus meyakinkan mereka bahwa ini bukan tanggung jawab mereka untuk menghentikan perilaku buruk orang lain.
Kesulitan Mengambil Tindakan
Tak jarang, ketika kita mengetahui anak kita dibully, reaksi pertama adalah marah. Kita ingin segera menyalahkan orang tua si pelaku, memanggil pihak sekolah, atau bahkan menarik anak kita dari lingkungan itu. Tapi, Lee mengingatkan bahwa keputusan drastis seperti memindahkan sekolah bukanlah solusi yang mudah, meski kadang diperlukan. Beberapa orang tua yang melakukan hal ini, akhirnya melihat perubahan yang signifikan dalam kehidupan anak mereka. Namun, langkah ini harus dipertimbangkan secara matang, terutama jika lingkungan baru tak lebih baik dari yang lama.
Langkah ketiga adalah membangun hubungan yang lebih kuat dengan anak. Masa remaja adalah periode di mana anak-anak secara alami menjauh dari orang tua, mencari kebebasan dan identitas diri. Tetapi, justru di masa-masa ini, hubungan yang kuat bisa menjadi jaring pengaman. Percakapan yang terbuka, mendukung, dan tidak menghakimi akan membuat anak merasa aman untuk bercerita, tanpa takut dihakimi atau merasa gagal.