"Yang saya takutkan itu anak-anak muda sudah terdidik tapi terhipnotis, bahwasanya kedepan kalau mau mencapai posisi kepemimpinan, dalam konteks apapun: akademisi, ekonomi, usaha, politik, spiritual dan lain-lain. Yang lebih penting adalah bisa joget, bukan melakukan intelektualisasi. Karena saat ini yang jago joget itu yang lebih viral." -- Gita Wirjawan
Bayangkan sebuah ruangan yang sunyi, dengan deretan buku berjajar rapi. Di sudut meja, terdapat seorang pemimpin besar, tenggelam dalam perenungan mendalam, setiap helai kertas yang dibaca memperkuat visinya untuk masa depan bangsanya.
Inilah gambaran klasik dari sosok seperti Muhammad Hatta---pemikir, pejuang, wakil presiden pertama Indonesia.
Ruang kerjanya dipenuhi dengan buku-buku yang menjadi bahan bakar intelektualnya, mendirikan perpustakaan pribadi dari koleksi yang melimpah. Namun, dalam dunia modern, pemandangan ini berubah drastis.
Hari ini, ruang kerja para tokoh publik justru sering dipenuhi oleh benda-benda yang lebih mencolok secara visual tetapi mungkin kurang substansi.
Koleksi action figure, mainan, dan perangkat teknologi terbaru lebih sering menghiasi gambar-gambar viral di media sosial. Tidak sedikit yang mengasosiasikan kepemimpinan dengan gaya hidup populer alih-alih intelektualitas.
Netizen bahkan membandingkan koleksi mainan Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Joko Widodo, dengan koleksi buku Bung Hatta---sebuah kontras antara pemikiran mendalam dan budaya populer.
Namun, apakah ini sebuah tanda sesuatu yang perlu dikawatirkan, atau hanya transformasi yang wajar dalam budaya kepemimpinan? Apakah kita sedang mencetak generasi yang cerdas, atau generasi yang viral?
'Joget' Intelektual: Antara Kecerdasan dan Popularitas di Era Digital
Di era digital, menjadi terkenal lebih mudah daripada sebelumnya. Satu video TikTok yang menampilkan joget sederhana dapat menjangkau jutaan mata dalam hitungan jam.
Influencer tumbuh seperti jamur di musim hujan, mendapatkan pengaruh melalui layar ponsel. Ketika popularitas menjadi ukuran kesuksesan, kompetisi intelektual sering kalah oleh mereka yang mampu menghibur.