Saat seluruh negeri bersorak merayakan prestasi Timnas ahir-ahir ini, di sudut lain, sepak bola Indonesia sedang berdarah-darah.
Pemukulan terhadap wasit di PON XXI 2024 adalah luka terbuka yang mengungkap penyakit kronis dalam sepak bola kita.
Wasit yang bertugas dipukul oleh pemain, sebuah insiden yang tak hanya mencoreng citra kompetisi, tetapi juga menjadi cerminan krisis integritas wasit di sepak bola Indonesia.
Dalam insiden ini, kekerasan terhadap wasit tidak dapat dianggap sebagai kejadian terpisah. Ini adalah puncak dari permasalahan yang lebih dalam, sebuah krisis kepercayaan yang mengancam masa depan olahraga terpopuler di Indonesia.
Krisis Sistemik Bukan Sekadar Kesalahan Individu
Masalah integritas wasit di Indonesia bukanlah persoalan satu atau dua wasit yang lalai. Ini adalah masalah sistemik yang melibatkan kelemahan dalam pelatihan, pengawasan, dan evaluasi.
Wasit seringkali menjadi korban dari tekanan internal dan eksternal, mulai dari intervensi pihak-pihak berkepentingan hingga kurangnya dukungan untuk meningkatkan profesionalisme mereka.
Insiden di PON XXI hanyalah satu dari banyak contoh yang menunjukkan bahwa tanpa reformasi menyeluruh, sepak bola Indonesia akan terus berada di bawah bayang-bayang ketidakadilan.
Kegagalan sistem dalam membina wasit telah menciptakan situasi di mana keputusan yang kontroversial menjadi hal biasa. Hal ini tentu merusak kepercayaan suporter, yang melihat wasit sebagai sosok yang tidak lagi netral.
Suporter, yang seharusnya mendukung dengan semangat positif, kini merasa dikhianati oleh kejanggalan yang terus berulang di lapangan.
Akibatnya, sponsor yang awalnya tertarik untuk mendukung perkembangan sepak bola nasional mulai ragu, karena mereka khawatir citra buruk ini akan memengaruhi reputasi mereka.
Tuntutan Reformasi yang Mendesak
Untuk menyelamatkan sepak bola Indonesia, reformasi terhadap sistem perwasitan harus menjadi prioritas. Pertama, peningkatan kualitas pelatihan wasit harus ditekankan.