Pemilihan presiden beserta wakilnya hampir memasuki penghujung. Akhirnya gelaran yang menguras emosi sekaligus tawa itu akan tiba juga.
Para pendukung masing-masing kandidat pasti sudah tidak sabar untuk bangun pagi, berdandan yang rapi, dan berangkat ke TPS untuk memberikan suaranya sebagai kontribusi terhadap kemajuan (atau kemunduran) bangsa. Sementara sebagian lainnya memilih untuk tidur sampai siang dan berusaha tidak peduli bahwa dirinya otomatis menjadi calon penghuni neraka.
Menyongsong Pemilu itu, boleh lah kita haha-hihi melihat tingkah jenaka para politikus dan pendukungnya yang tidak jauh berbeda, atau emosi ketika jagoannya dinistakan. Boleh juga kita berapi-api ketika mempromosikan jagoannya masing-masing di media sosial, atau berdalih mati-matian ketika borok jagoannya dikorek. Semua itu boleh dilakukan. Sepenuhnya sah. Namanya juga rakyat jelata, memang mau apa lagi selain jadi suporter dan penonton?
Yang tidak boleh dilakukan adalah melupakan janji-janji yang dilempar oleh para kandidat pemimpin itu. Jangan sampai, janji-janji itu mudah diterima dan mudah juga dilupakan. Hal seperti itu biasa terjadi. Bombardir janji yang diberikan oleh kedua pasangan calon presiden dan wakilnya itu, menurut hemat saya, tidak sepenuhnya realistis dan kurang dirasakan langsung dampaknya oleh rakyat. Terutama kaum kelas menengah yang rewel dan gengsian.
Janji-janji itu, karena kurang realistis untuk diwujudkan, akhirnya hanya menguap bersama lupa. Mereka pura-pura lupa, dan kita tidak sengaja (atau sengaja) melupakannya. Yang penting jagoannya sudah menang. Habis itu, yuk main gaple lagi.
Padahal, ada satu kebijakan sederhana yang luput dari perhatian para kandidat presiden, dan kebijakan tersebut niscaya dapat menjadi janji yang mudah diwujudkan sekaligus mampu menggalang banyak suara dalam Pemilu. Terlebih, dampaknya dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat dan tidak muluk-muluk seperti janji yang sudah-sudah.
Seharusnya seorang calon presiden mampu berjanji untuk menambah hari libur.
Tidak ada manusia yang tak menyukai hari libur. Rutinitas di luar rumah yang mendominasi pekan itu benar-benar tidak menyenangkan dan menguras tenaga serta pikiran. Pernahkan terpikir mengapa dari hari Senin hingga Jumat itu jumlahnya lima hari, sedangkan dari Jumat ke Senin hanya terpaut dua hari saja? Apakah itu yang dinamakan keadilan?
Siapapun yang merumuskan perhitungan hari libur semacam itu pastilah seorang yang tidak menyenangkan dan dijauhi oleh teman-temannya.
Seorang calon presiden, seharusnya bisa mewujudkan hari libur lebih dari yang semestinya. Misalkan, lima hari kerja, lima hari libur. Atau setidaknya, sediakan jeda untuk rehat di tengah pekan. Misalkan menjadikan hari Rabu sebagai hari libur. Masuk akal, bukan?