Beberapa hari lalu, saya mendapat sebuah pertanyaan dari seorang kawan. Ia bertanya, mengapa saya tidak nyetok rokok? Ditanya secara tiba-tiba, saya sempat tidak ngeh bahwa maksudnya tertuju kepada rumor harga rokok yang akan segera dinaikkan oleh pemerintah. Ketika itu saya menjawab sekenanya, bahwa harga rokok tidak akan naik. Ketika ditanya balik mengenai alasannya, saja jawab hanya firasat saja. Pendek.
Saya tergolong seorang perokok berat. Dalam sehari, saya bisa habiskan satu bungkus Marlboro merah. Jika sedang libur dan leyeh-leyeh, bisa lebih dari satu bungkus rokok saya hisap. Setelah mendapat pertanyaan tersebut, saya mulai menyadari suatu hal. Rupanya isu kenaikan harga rokok sudah mulai menguat dan mulai mempengaruhi orang-orang di sekitar saya, setidaknya. Beberapa orang mengantisipasinya dengan menyetok rokok berkardus-kardus, ada yang menyiasatinya dengan beralih ke rokok elektrik, juga tidak sedikit yang memutuskan akan berhenti merokok jika harganya benar-benar mencekik.
Namun, tidak sedikit juga yang memutuskan untuk tetap merokok. Seperti halnya saya. Tidak terpengaruh. Mungkin bebal. Iya. Saya dan beberapa orang yang memutuskan untuk tetap merokok, berusaha untuk tidak dibuat pusing oleh isu-isu yang santer dibicarakan belakangan tersebut. Jika memang harus naik, ya silakan naik. Sejauh ini saya memang belum berniat untuk berhenti merokok. Perihal berhenti merokok tidak semudah menghentikan diare.
Meski berkuasa, pemerintah tidak mudah untuk menancapkan tajinya dalam upaya menekan jumlah perokok. Selalu ada kendala, tidak selamanya mulus. Menurut salah seorang budayawan yang tidak ingin saya sebutkan namanya, mengatakan bahwa rokok sudah menjadi budaya orang Indonesia. Pernyataan tersebut banyak benarnya, mengingat bahwa batang-batang rokok selalu terselip di kebanyakan individu di negeri ini. Meskipun tidak sedikit pula yang menganggap rokok adalah hal yang menjijikan. Untuk mengubah budaya tersebut, pemerintah harus memeras keringat lebih giat. Sebenarnya, sebelum isu kenaikan harga rokok ini mencuat, upaya-upaya untuk melemahkan para perokok sudah sering dilakukan. Mulai dari membuat Perda yang mengatur tata-tertib merokok, menerapkan sejumlah denda bagi perokok sembarangan, hingga memuat gambar-gambar menyeramkan di bungkus rokok sudah dilakukan oleh pemerintah. Hasilnya? Nihil. Jumlah perokok di Indonesia tetap tinggi.
Mengapa gagal? Ya wong para penegak hukum yang tugasnya menertibkan para perokok, toh juga merokok. Lalu, kembali lagi, budaya. Coba bayangkan, apa bisa pemerintah melarang Reog Ponorogo, atau Tari Kecak, misalnya? Tidak akan bisa. Dalam hal rokok, kembali lagi, sejumlah kendala pasti terbentur pada kesejahteraan petani tembakau, pedagang rokok eceran, pengerajin rokok, pendapatan pajak negara, dan sebagainya. Selalu berkutat di situ permasalahannya.
Sebenarnya, menurut saya, pemerintah terlalu berpikir besar. Sedangkan ada langkah-langkah sederhana yang lebih efektif untuk menekan jumlah perokok di Indonesia tanpa melukai sebagian pihak. Bahkan mungkin dapat menguntungkan lebih banyak pihak. Berikut solusi-solusi yang seharusnya diambil oleh pemerintah, hasil pemikiran saya:
Naikkan Harga Korek Api
Anggaplah harga rokok tetap seperti sekarang, berkisar di angka 15-20ribu per-bungkus. Semua orang masih bisa menjangkau harga demikian. Namun, jika pemerintah menaikkan harga korek api, ceritanya akan berbeda. Rokok tidak akan berfungsi jika tidak ada api. Itu logika paling sederhana. Jika harga korek dinaikkan menjadi 100ribu per-buah, misalnya, saya jamin, angka perokok akan menurun karena tidak mampu membeli korek api yang demikian mahal. Apa perlu membawa kompor ke mana-mana? Atau membawa dua bongkah batu yang harus digesekkan satu dan lainnya setiap ingin menyulut rokok? Saya rasa pecandu rokok sekaliber Marlboro Man pun tidak akan seniat itu.
Sisipkan Petasan
Solusi kali ini mungkin terdengar sadis. Namun saya rasa cukup efektif. Begini, harga rokok tidak perlu dinaikkan, begitu juga harga korek api, namun pabrik rokok diwajibkan menyisipkan satu buah petasan yang menyerupai rokok di setiap satu bungkusnya. Jika satu bungkus rokok ada 20 batang, maka sisipkan satu saja petasan. 19 banding 1. Petasannya tentu saja ditanam di salah satu batang rokok tersebut. Sehingga perokok tidak menyadari bahwa dirinya sedang apes dan menyulut petasan yang bisa membuat bibirnya jontor. Dengan cara ini, niscaya para perokok akan berpikir dua, eh empat kali untuk merokok. Hanya orang-orang yang pemberani betul dan pecinta tantangan, yang akan merokok. Sangat cocok dengan gambaran di setiap iklan rokok; bahwa yang merokok adalah yang berani. Kurang lebih begitu.
Buat Biro Jodoh
Apa hubungannya biro jodoh dengan merokok? Ada, tentu saja. Menurut survey yang saya lakukan kecil-kecilan, bahwa korelasi antara rokok dan jomblo sangatlah erat. Seorang jomblo yang lebih sering melamun ketimbang pacaran atau chatting dengan pacarnya akan lebih sering menghabiskan rokok. Terutama di malam minggu. Stalking akun media sosial gebetan, melamun, galau sambil mendengarkan lagu sendu, adalah kolaborasi lengkap bersama rokok. Maka seharusnya pemerintah membuat biro jodoh dengan skala nasional yang dapat menghubungkan para jomblo dengan jodoh-jodohnya yang terpisah. Sehingga waktu senggang mereka yang biasanya digunakan untuk menghisap rokok, bisa digantikan dengan pacaran.
Tetapi ada juga kok jomblo yang tidak merokok! Ya itu bukan urusan saya, mblo.
Perluas Lapangan Pekerjaan
Tips terakhir ini mungkin paling tidak efektif dan tidak berguna. Tapi saya muat saja agar artikel ini jadi lumayan panjang. Hemat saya, untuk menghindari polemik tentang nasib petani tembakau, atau pengerajin rokok yang kemungkinan menderita jika harga rokok dinaikkan, seharusnya pemerintah bisa memberikan lapangan pekerjaan bagi mereka. Orang-orang yang hidupnya tergantung dari sektor rokok, bisa dialihkan menjadi SDM di komoditi lainnya. Misalkan, dengan membuka perkebunan sayur, persawahan, dan sebagainya. Setidaknya mereka tidak menjadi pengangguran jika konsumsi rokok ditekan. Sok tahu sih. Memang.