Kalau seorang menteri kominfo hanya bisa main blokir tanpa ada upaya komunikasi dengan warga negara Indonesia, kita tentu tak butuh sosok itu. Seorang menkominfo yang baik barangkali sama dengan juru penerangan nasional. Kala Orde Baru, peran itu dimainkan oleh menteri penerangan.
Kementerian itu kini tak ada lagi. Tapi kalau dirasa-rasa tugas, kayaknya sama saja.
Semua urusan kemedia-massaan kini diurusi komionfo. Baik di tingkat kementerian maupun di tingkat kedinasan tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Kalau hanya bisanya memblokir, itu sama persis kala Orde Baru, rezim suka menutup media massa yang dianggap membahayakan stabilitas negara. Dulu istilahnya beredel. Yakni, menghentikan izin media massa cetak untuk beroperasi.
Surat izin usaha penerbitan atau SIUP-nya bisa dicabut. Usai Malari, banyak yang kena beredel.
Sekarang, koran sudah hampir habis. Kalaupun masih ada, hanya beberapa saja.
Eksemplar yang didistribusikan pun mungkin tinggal 10 persen jika dibandingkan masa kejayaan koran. Koran juga tak perlu lagi SIUP dan sebagainya.
Kini, media massa banyak dengan medium dalam jaringan atau daring atau online dalam bahasa Inggris. Sekarang juga banyak media sosial yang bergerak menggunakan aplikasi di dunia maya.
Jika mau disamakan kayak dulu, kerja Kominfo bakal berat. Alangkah banyak yang mesti diawasi.
Situs porno yang dahulu digembar gemborkan mau ditutup saja, entah apa kabarnya sekarang. Jangan-jangan masih mudah diakses.