Kebutuhan rumah tangga di mana-mana selama Ramadan menunjukkan peningkatan lumayan. Meski ada isu resesi dan kriris ekonomi usai pandemi, kasatmata banyak keluarga tetap bisa menjaga ritme kebutuhan dapurnya.
Benar bahwa banyak pula elemen masyarakat yang merasakan kesulitan ekonomi selama Ramadan ini. Kabar baiknya, filantropi di Indonesia masih punya angka yang tinggi. Tersebab hal itu banyak keluarga prasejahtera di kita yang bisa dibantu.
Neraca keuangan keluarga kita selama Ramadan memang cenderung meningkat dari sisi konsumsi. Kalau melihat logika sederhana, sebetulnya mestinya tidak demikian.
Mengapa? Karena situasi puasa membuat skema makan siang tidak ada. Skema makan pagi kita substitusi ke sahur. Sedangkan makan malam terwakili dengan waktu berbuka.
Persoalannya adalah para ibu di rumah tangga Indonesia ingin menyajikan yang terbaik buat suami dan anak-anaknya. Itulah sebabnya, beragam makanan dan minuman serta buah-buahan mau tak mau disiapkan.
Padahal mungkin alokasi belanja dari suami sebagai keluarga mungkin sama. Barangkali ada peningkatan tapi tak signifikan.
Konteks Ramadan memang lekat ibadah. Mungkin kalau direken secara penaksiran pasti, kita juga tak tahu dari mana uang untuk berbelanja itu.
Kalau kata para ibu, perasaan dikasih uangnya tidak banyak-banyak amat, tapi kok bisa memenuhi kebutuhan harian selama puasa. Kita anggap saja itu keberkahan Ramadan. Allah swt mencukupi kebutuhan hambanya yang berpuasa dan bersyukur.
Meski demikian, tetap saja ikhtiar manusiawi dilakukan. jangan sampai finansial terganggu gara-gara persiapan selama Ramadan dan jelang Lebaran. Yang namanya finansial pasti berkelindan dengan uang. Manajemen finansial di rumah tangga mesti ketat juga dilakukan.
Mengapa demikian? Karena lepas Lebaran, anak-anak kita kembali ke sekolah dan itu membutuhkan biaya. Jika tak saksama dalam mengatur keuangan, bisa jebol juga.
Alih-alih mencari pinjaman. Dari beberapa pengalaman, mungkin ini kiat bagus juga untuk dipratikkan agar finansial sehat saat Ramadan.