Saya beberapa kali diminta mengisi materi soal jurnalistik dan konten media sosial di beberapa lembaga filantropi. Ada yang bergiat di zakat, ada pula khusus kemanusiaan. Misalnya soal penanganan bencana banjir, gempa bumi, kebakaran, dan lainnya.
Kepada pengelola lembaga itu saya mengatakan sekarang memang eranya media sosial. Akun lembaga di media sosial seperti di Twitter, Instagram, Facebook, TikTok dan lainnya memang sudah selayaknya diisi. Tentu dengan konten yang baik, informasi terbaru, dan mengajak orang untuk mau ikutan berderma.
Saya bilang, jangan khawatir bahwa konten yang kita unggah itu akan membuat kita riya dan menghapus keikhlasan kita. Saya menegaskan, urusan ikhlas itu perkara kita dengan Allah swt.
Itu biarlah menjadi catatan kebaikan Raqib saja saban kita berbuat amal saleh. Jangan malah karena takut berbuat baik malahan tidak berbuat.
Alasan takut riya, akhirnya tidak jadi berderma. Alasan khawatir amal sia-sia, akhirnya sungkan melakukan kebaikan. Dan sebagainya, dan sebagainya.
Memberikan informasi di media sosial atas aktivitas yang dilakukan adalah ukuran dan cermin tanggung jawab lembaga. Tanggung jawab kepada siapa? Kepada donatur, penyumbang, lembaga mitra, dan lainnya.
Bahwa mungkin ada imbas usai mengunggah konten di media sosial, itu soal lain. Kegiatan apa pun ketika disorot pasti ada imbas. Bisa makin memotivasi, bisa mendegradasi. Itu bergantung pada penyikapan kita.
Ringkas kata saya menganjurkan semua lembaga filantropi, totalitas dalam mengisi kontennya. Bikin konten yang paling bagus.
Rancang dengan matang dan kerjakan sampai ujungnya khusnul khatimah. Kemudian unggah ke media sosial.
Kasih takarir atau caption yang menggugah. Kalau ilmu copy writing-nya sudah sampai, silakan dipakai.
Jangan khawatir disangka riya, ujub, bin sombong. Jauhkan perkara itu.