Tahun 2003, Papi, panggilan bapak saya, masuk rumah sakit. Memang sejak semingguan kondisi badannya tak enak.
Usai dari kebun kopi yang sedang digarap, Papi jatuh sakit. Saya ditelepon Ibu saat Papi sudah tak tahan menahan sakit dan mau ke rumah sakit. Saya sedang mengisi acara pelatihan waktu itu.
Usai menerima telepon, saya pamit kepada peserta. Minta diantar dengan sepeda motor, saya tiba di rumah. Papi kemudian langsung saya bawa ke rumah sakit milik pemerintah daerah.
Tahun itu BPJS Kesehatan belum ada. Papi masuk pakai fasilitas Askes. Ibu kebetulan guru PNS dan akses kesehatan Papi dari situ.
Papi kemudian diperiksa dan dimasukkan ke bangsal. Ini sebutan untuk kelas biasa di rumah sakit.
Ada lebih dari empat orang waktu itu di bangsal. Ruangan kurang nyaman. Jarak antarpasien hanya dipisahkan tirai.
Yang menunggu tak bisa banyak. Cuaca gerah. Kipas angin tak mampu mengusir kepanasan di kamar bangsal itu.
Seorang kerabat yang kebetulan kerja di dinas kesehatan kemudian meminta pegawai memindahkan Papi ke kelas VIP. Di VIP Papi merasa enak. Rupanya kenyamanan sebuah ruangan untuk orang sakit juga signifikan terhadap pemulihan kesehatan. Ini cerita preambul.
Di kota saya sekarang ini ada beberapa rumah singgah pasien. Rumah singgah pasien biasanya mampu menampung belasan orang. Pasien yang hendak berobat tapi jadwal kunjung dokter masih beberapa hari, bisa minap di rumah singgah.
Mereka rata-rata memang pakai BPJS untuk penyakitnya. Namun, untuk urusan lain, mereka mesti rogok kocek sendiri.