Demokrasi di Indonesia tidak akan tumbuh kalau ada penghalang yang namanya presidential threshold.
Ketentuan paling terkini untuk mereka yang mau maju pemilihan presiden 14 Februari 2024 adalah partai atau gabungan partai yang pada Pilpres 2019 memperoleh sekurang-kurangnya 20 persen jumlah kursi DPR atau 25 persen dari perolehan suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR.
Hal ini tercantum dalam Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 222 tentang Pemilihan Umum yang berbunyi "pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoLeh 25% dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.
Angka ini mematikan potensi demokrasi Indonesia. Mereka yang punya kans untuk menjadi pemimpin nasional, belum apa-apa sudah dibelenggu oleh aturan kekuasaan.
Maka itu, sulit untuk Indonesia mendapatkan pasangan calon presiden dan wakilnya yang ideal.
Jika merujuk pada pengalaman beberapa kali pemilihan presiden, pada detik akhir hendak mendaftar ke KPU-lah kita baru tahu siapa saja yang akhirnya berkoalisi untuk mengajukan calon.
Yang kita khawatirkan, oleh pemenang pemilu, angka ini akan dikerek lagi dengan dalih memberikan batasan ideal agar capres dan cawapres punya basis dukungan yang memadai.
Ini tentu saja secara esensi menghalangi hak orang untuk berkompetisi dalam pilpres.
Sabtu, 16 Maret 2022 yang lampau, di negara tetanga kita, yang dulu sempat masuk menjadi provinsi Indonesia, Timor Leste, digelar pemilu presiden.
Ada 16 kandidat yang ikut. Sang pemenang adalah nama yang tak asing untuk publik Indonesia, Jose Ramos Horta.
Bukan soal Horta yang menarik. Yang menarik adalah jumlah capres yang ikut sangat banyak. Sampai dengan 16 orang.