Mantan pelatih tim nasional sepak bola Indonesia mendiang Alfred Riedl punya kebiasaan tidak membalas jabat tangan orang Indonesia. Beberapa wartawan yang ingin bersalaman dengan Riedl terpaksa mengepalkan tangan sebagai tanda salam dari pelatih berkebangsaan Austria itu. Riedl memang demikian.
Dari beberapa informasi di media daring, Riedl memang tak mau bersalaman dengan orang Indonesia karena satu hal. Orang Indonesia, kata Riedl, tidak punya kultur mencuci tangan dengan sabun usai beraktivitas.
Wabilkhusus usai hajat dari kamar mandi. Entah buang air kecil maupun besar. Sekelumit cerita ini menemukan momentumnya kala pandemi covid-19 melanda dunia, khususnya Indonesia.
Protokol kesehatan yang salah satu isinya mengajak orang mencuci tangan dengan sabun dengan air mengalir sesering mungkin menjadi punya hubungan erat dengan cerita Alfred Riedl tadi.
Cermin kebersihan dalam skala paling kecil memang mencuci tangan. Benar bahwa Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sudah mensyaratkan mencuci tangan dengan sabun dengan air mengalir sebagai salah satu protokol kesehatan selain menjaga jarak dan menghindari kerumunan.
Akan tetapi, lebih jauh daripada itu, ajaran bersih itu sudah ada sejak dahulu. Dalam konteks agama Islam saja, mencuci tangan adalah poin pertama ketika umat Islam hendak salat.
Wudu sebagai syarat utama salat salah satu rukunnya juga, bahkan yang pertama setelah niat, adalah mencuci tangan. Jemari tangan dibasuh sampai bersih. Sela-sela jari dibasuh dan ditekan agak kuat sehingga kotorannya hilang.
Ini bentuk sederhana dan paling kecil dari sanitasi serta perilaku hidup bersih dan sehat. Wajar kiranya jika mencuci tangan kini menjadi gerakan dunia.
Pada awal pandemi covid-19, semua tokoh dunia, pesohor, petinggi negara, sosialita, selebgram mendengung-dengungkan mencuci tangan dengan sabun dengan air mengalir.
Kiper andalan Liverpool asal Brasil Alisson Becker mengunggah video cuci tangan di wastafel di media sosialnya. Ini sebagai bentuk dukungan kampanye edukasi soal sanitasi menghadapi pandemi.