Bulan lalu saya datang meliput kegiatan bursa kerja di sebuah kampus negeri. Panitia yang mengundang saya. Kebetulan kakak sepupu sendiri.
Saya kemudian berkeliling ke beberapa stan. Ada satu stan perusahaan nasional. Ramai sekali di sana. Pelamar menyemut di situ. Saya tertarik bikin satu berita soal itu.
Saya kemudian mendekati petugasnya. Tentu karyawan perusahaan yang bersangkutan. Saya izin hendak melakukan wawancara.
Karyawati yang cantik itu rikuh. Sepertinya ia tidak siap untuk saya wartakan.
"Mas-nya dari mana ya? Oh, wartawan ya. Saya enggak bisa jawab lo, Mas, saya hanya jaga."
Saya kemudian yakinkan dia, tulisan ini tujuannya baik. Saya hanya hendak tanya respons dia karena stan perusahaannya ramai peminat. Dia pun mengangguk. Saya balik tanya?
"Kenapa, Mbak, takut ditanya macam-macam ya." Karyawati itu tersenyum. Manis.
Kejadian ini tidak sekali-dua. Sering bahkan. Kadang orang ada penghalang untuk mau diwawancarai wartawan.
Saya kemudian survei kecil-kecilan. Mengapa orang ada kesan enggan berurusan sama wartawan.
Kesatu, takut ditanya macam-macam
Tugas jurnalis itu memang bertanya. Dia tanya karena hendak menulis satu peristiwa atau isu tertentu yang awalnya dia tidak tahu. Jurnalis butuh narasumber yang bisa memberitahukan informasi itu untuk kemudian disebarluaskan kepada publik.