Saya hendak melanjutkan obrolan soal koran lokal usai Republika tutup tahun ini. Di bagian akhir tulisan saya sempat tulis hendak cerita soal Tribun Lampung. Ini koran lokal di Lampung tapi rasa Jakarta lantaran bergabung di grup besar yang masih satu indukan dengan Kompas.
Di saat koran nasional lain sulit untuk hidup bahkan mati, koran Tribun Lampung malah makin eksis. Bahkan, bisa mereguk untung dari online. Saya tak pernah bekerja di koran ini. Sepuluh tahun saya menjadi orang media di koran lain.
Sejak awal ada di Lampung, Tribun ini memang sudah gas pol. Dua koran besar sebelumnya, Lampung Post dan Radar Lampung, dibalap. Dengan harga murah, bahkan pernah Rp1.000, Tribun jadi raja di Lampung.
Orang muda yang banyak bekerja barangkali membuat derap langkah koran ini sejak awal memang kencang dan kreatif. Gajinya pun terbilang paling baik. Sekelas reporter saja gajinya seingat saya setara dengan redaktur yang sudah bertahun-tahun bekerja di koran lain.
Saya pernah mengecek saldo di BPJS Ketenagakerjaan seorang teman di Tribun yang waktu kerjanya separuh pengalaman kerja saya. Namun, nominal premi dia di pos tabungan hari tua lebih tinggi ketimbang saya. Premi kawan ini rupanya lebih besar. Wajar kalau usia kerjanya masih pendek tapi tabungan hari tuanya lumayan besar. Pendek kata, sejak awal adanya, koran ini memang sudah oke punya.
Waktu ramai-ramai orang bicara soal media online, Tribun sudah sadar duluan. Ia tidak fanatik dengan produk korannya. Sikap untuk siap meninggalkan bisnis koran sudah dipatri dalam-dalam. Kok saya bisa tahu? Ya tahu dong. Ada banyak teman di sana. Kasatmata orang luar Tribun pun bisa melihatnya dengan jernih.
Kini Tribun Lampung dipimpin Ridwan Hardiansyah. Ridwan alias One ini pernah jadi sekretaris Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung. One nyaris setahun ini jadi pemred. Ia sudah haji beberapa tahun lampau. Ia dipilih karena terbilang sukses membawa korannya mendapatkan banyak duit dari media online. Selain itu tentu saja soal mutu keredaksian.
Tribun kini, di tangan One, sudah merambah Youtube dan Facebook. Berita berbasis video mereka sudah banyak diunggah. Bahkan sejak beberapa tahun lalu. Di saat ada surat kabar yang galau dengan masa depannya, Tribun sudah ambil sikap jelas.
Mereka bahkan sudah siap jika benar-benar ditutup versi korannya. Semua jenis pekerjaan yang berbasis cetak sudah dialihkan. Pekerja yang banyak berkutat mengurus koran, sudah dilatih untuk urusan digital. Mobil boks yang dulu tiap hari angkut koran, sudah banyak tidak ada. Kabarnya sih dijual. Duitnya masuk kas perusahaan.
Lantas, apa dengan begini mereka rugi? Ya enggak dong. Justru malah tambah untung. Ongkos produksi koran mereka sedikit. Hemat-hemat untuk urusan media konvensional ini. Mereka lebih banyak ambil ceruk dari dunia maya baik lewat Facebook maupun Youtube serta peluang lain dari dunia maya.
Siniar atau podcast juga mereka urus dengan baik. Benar-benar rasa online dan milenial. Maka itu, mereka kini makin siap untuk totalitas hidup dari capaian online alias daring.