Saban tahun soal warung buka atau tutup bulan puasa menjadi perbincangan seru. Ada yang pro, ada yang kontra. Ada yang mendasarkan pada toleransi agama, ada juga yang beralasan ekonomi semata.
Pemilik warung buka bulan puasa karena itulah mata pencarian utama mereka. Galibnya bulan puasa, di mana banyak mal dan toko gegap gempita menyambut, wajar kalau semua jenis usaha mencoba mereguk ceruk kapital lumayan.
Ini faktor ekonomi yang simpel sekali dicerna. Pemilik warung yang membuka usaha belum tentu tak puasa. Barangkali justru mereka taat berpuasa. Bahwa mereka tetap membuka warung dengan sehelai tirai menutupi display makanan, itu karena faktor ekonomi.
Bagaimana hendak bersiap menyambut Ramadan dan mengisinya serta bersiap Lebaran jika tak ada uang di tangan. Uang yang didapat tentu dari usaha warung yang mereka punyai. Apalagi jika hanya itu sumber periuk nasi mereka di keluarga.
Maka itu, dalam konteks ini, alasan pemilik warung simpel simpel saja. Mereka butuh pemasukan dan itu yang membuat mereka tetap membuka dengan beberapa penyesuaian.
Puasa itu membentuk jiwa kita menjadi dewasa. Termasuk dalam menalar konteks mengapa saudara-saudara kita tetap membuka warung makan selama Ramadan.
Warung-warung makan di sekitaran mal bisa hidup karena sebagian besar karyawan mal-mal itu makan siang di sana. Dan sebagian di antaranya perempuan. Dan kodratnya perempuan, saban bulan ada waktu datang bulan yang membuat mereka tak berpuasa.
Barangkali pengusaha warung makan tetap berharap ceruk ini tak hilang meski puasa. Bahkan boleh jadi makin meningkat pemasukan karena menyasar pemasukan saat berbuka puasa.
Sebagian besar rumah tangga yang ayah dan ibunya bekerja, ada peluang tak memasak untuk kebutuhan buka puasa dan sahur. Keberadaan warung makan sudah pasti membantu mereka untuk tetap bisa makan dengan enak lazimnya keseharian.
Inilah dasar pemikiran kita sehingga memaklumi bahwa perputaran ekonomi mereka tak boleh terganggu mesti ini Ramadan.
Kita butuh kedewasaan dalam melihat ini. Para pengusaha warung makan juga mempunyai nafkah utama dari sana. Jika itu sampai dilarang keras, bahkan dengan regulasi berupa peraturan daerah, tentu tidak bijak juga. Ada berapa banyak orang yang menggantungkan hidup dari usaha ini.