Momentum Ramadan diidam-idamkan banyak rumah tangga untuk menjadi lebih baik. Dengan asumsi kebersamaan bersama keluarga lebih sering, momentum Ramadan diharapkan makin mengeratkan silaturahmi antar-anggota keluarga.
Namun, asa itu bisa pupus jika entitas keluarga lebih cenderung mengutamakan duniawi ketimbang ukhrawi selama Ramadan. Setidaknya, catatan ini berdasar pengalaman pribadi serta curhat-curhat teman-teman. Harapan kita tentu saja ini dihindari. Sehingga, nawaitu menjadikan Ramadan bulan yang bikin romantis keluarga bisa terejawantahkan.
Poin-poin apa saja dalam konteks Keduniawian yang bisa membuat harapan romantisme dalam keluarga menjadi pupus?
Pertama, jam bekerja tidak dikurangi
Waktu itu adalah satu item penting menciptakan romantisme dalam keluarga. Jika porsi bekerja ayah dan ibu tidak dikurangi, setidaknya membuat durasi bersama keluarga menjadi minim. Benar bahwa yang penting itu waktunya yang berkualitas. Namun dalam konteks ini, membangun iklim romantisme dalam keluarga dengan sisa waktu tentu bukan hal yang bijak.
Maka, durasi waktu kerja ini sedikit banyak harus dikurangi. Dan, mengalokasikan waktu yang buat bekerja itu untuk keluarga di rumah. Tanpa adanya kemauan untuk mengubah porsi waktu bersama keluarga, rasanya sulit mewujudkan romantisme keluarga selama Ramadan.
Kedua, lebih fokus soal menu ketimbang religi
Kalaupun banyak di rumah, hal yang bikin gagal rumah tangga jadi romantis selama Ramadan adalah fokus pada menu. Berbuka dan sahur jadi perhatian utama. Mau makan apa nanti. Mau buka pakai apa. Mau sahur pakai apa. Padahal, yang terpenting adalah membangun sisi religiositas dalam keluarga.
Misalnya fokus ibadah dengan sama-sama menjaga iklim tadarusan, tarawih di masjid, subuh berjamaah, dan saling menasihati dalam keluarga.
Padahal, dengan meningkatkan sisi religiositas keluarga dalam Ramadan, peluang keluarga menjadi romantis itu semakin besar. Kadangkala, kita hanya memikirkan sisi materi ketimbang ukhrawi.
Ketiga, komunikasi yang garing