[caption id="attachment_303406" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Seharian ini saya kongko di sekretariat Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung. Membaca koran, minum kopi, dan berbincang dengan rekan-rekan. Koran Kompas adalah salah satu media yang saya baca. Rasanya tidak afdal kalau seharian belum baca Kompas. Edisi di halaman Olahraga hari ini menarik saya. Lembar halaman 30 ini menampilkan para mantan bintang SEA Games. Salah satunya Donald Pandiangan. Siapa sih tak kenal pemanah yang dijuluki “Robin Hood Indonesia” ini. Yang menarik buat saya yang berdomisli di Lampung ialah biodata yang ditampilkan redaksi Kompas. Di situ ditulis bahwa Donald Pandiangan lahir di Pringsewu, Lampung, pada 5 Maret 1944. Wah, ini informasi yang baru saya tahu. Sebagai orang yang lama ngefans dengan Donald, saya tertarik menulis tentang dia. Nilai proximity alias kedekatan dengan saya bertemu di tempat dia lahir: Pringsewu. Tentu menarik menulis biografi Donald jika dia asli kelahiran Lampung meski beretnik Batak. Saking senangnya, saya potret wajah Donald dan saya pasang di foto status BlackBerry saya plus seuntai kalimat. Selarik kalimat juga saya tulis di status Facebook saya. Tak lama, beberapa pesan di BlackBerry dan Facebook masuk. Beberapa teman kaget kalau “Robin Hood Indonesia” ini kelahiran Lampung.
Seorang rekan kerja di Lampung Post, Vera Aglisa namanya, menanggapi status saya. Dia sangsi soal tempat kelahiran Donald yang di Pringsewu. Vera rupanya sudah membuka internet dan mencari data di mana Donald lahir. Ia yakin, data yang ada di Kompas salah. Saya yang kebetulan belum terhubung dengan internet, awalnya menyanggah. Masak iya Kompas salah.
Namun, setelah saya pelototi lagi lembar itu, saya kemudian menemukan kejanggalan. Tempat dan tanggal lahir Donald sama persis dengan biodata Imron Rosyadi, pelatih angkat besi legendaris asal Pringsewu, Lampung! Saya manggut-manggut. Prediksi saya, tim Kompas mungkin salah menempatkan. Bisa jadi salah sejak ditulis si penulis, bisa juga editor yang mengganti, atau penyelaras bahasa yang keliru. Mungkin juga staf tata cetak yang kurang teliti. Beragam prediksi muncul.
Memang hanya sederet data, tapi ini penting. Salah membaca, salah pula pemahaman pembaca. Apalagi ini Kompas, koran yang menjadi tolok ukur verifikasi banyak media massa. Setelah beberapa saat mencari di dunia maya, didapat keterangan dari Wikipedia, Donald Pandiangan lahir di Sidikalang, 12 Desember 1945. Data Kompas ternyata keliru!
Saya kemudian membuka koran lain, Radar Lampung. Saya membaca soal kiprah Lampung FC, klub kebanggaan Lampung yang baru saja gagal melangkah ke Divisi Utama gara-gara kalah -12 dari PSS Sleman. Di tubuh berita ditulis, Lampung FC sedang mencari seorang pelatih pengganti pelatih sebelumnya, M. Nasir. Nama pelatihyang digadang-gadang ialah ekspelatih Persija. Radar menulis nama pelatih itu Isman Jumaeli. Dahi saya berkerut. Meski bukan pakar bola, setahu saya nama pelatih yang pernah membesut Persija itu Isman Jasulmei. Nama ini saya ingat dengan baik karena dalam suatu kesempatan wawancara dengan anggota DPR Almuzzammil Yusuf, nama Isman ini sempat disebut.
Muzzammil rupanya pernah satu tim bersama Isman saat keduanya memperkuat Tim Pelajar Indonesia. Saya yakin, nama yang dimaksud dalam pemberitaan ini Isman Jasulmei, bukan Isman Jumaeli. Saya kemudian memberitahukan teman di Radar soal kekeliruan nama ini.
*
Dalam dunia massa, disiplin verifikasi itu penting. Disiplin verifikasi ini adalah inti sari kerja seorang jurnalis. Seperti pernah dinasihatkan “Nabi Jurnalisme” Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam bukunya Sembilan Elemen Jurnalisme, jurnalis mesti disiplin dalam verifikasi. Wujudnya ialah jurnalis mesti sering mengecek data dan fakta dalam tulisannya. Mungkin nama orang, nama tempat, kronologis kejadian, dan sebagainya. Sehingga, tulisan yang disajikan dalam media bisa benar. Setidaknya meminimalkan kesalahan.
Ketika menuliskan nama orang, mesti sama dengan aslinya. Jika ragu, tidak masalah meminta narasumber menuliskan nama dia di notes kita. Ini untuk menghindari kesalahan. Kecuali untuk nama narasumber yang memang terkenal dan sering dikutip media. Nama tempat juga mesti tepat. Kompas juga pernah keliru menulis nama taman nasional saat ada penglepasliaran harimau sumatera di daerah Tampang Belimbing, Lampung Barat. Daerah Tampang Belimbing yang seharusnya masuk area Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), ditulis di halaman satu Kompas beberapa tahun lalu, Taman Nasional Way Kambas (TNWK). Way Kambas boleh jadi lebih dikenal orang di luar Lampung. Maklum, nama ini erat kaitan dengan satwa eksotis yang banyak di Lampung: gajah. Wajar kalau cara pandang orang soal taman nasional ialah Way Kambas.
Kekeliruan penulisan nama memang manusiawi. Jurnalis juga manusia. Pembawa berita terkenal seperti Putra Nababan saja pernah keliru ketika menyebut AJI sebagai Aliansi Jurnalis Indonesia, padahal mestinya Aliansi Jurnalis Independen. Pasti setiap jurnalis pernah keliru. Kalaupun memang salah, besok bisa diperbaiki. Sebab, jika tidak, pembaca akan mendapatkan informasi yang salah. Kalau ia memang tidak tahu dan tidak berusaha mencari sumber lain, saya pun pasti yakin kalau Donald Pandiangan itu kelahiran Lampung. Apalagi media massa adalah bacaan publik. Orang boleh jadi lebih banyak mendapat informasi dan pengetahuan dari media massa ketimbang sumber lain, semacam buku atau internet. Apalagi ditulis di media yang sudah menasional seperti Kompas.
Tentu tulisan ini bukan bernada itu menjatuhkan koran besutan PK Ojong ini. Ini sekadar upaya meluruskan. Kita ingin semua media berkembang dan menjadikan disiplin verifikasi sebagai marwah utamanya. Sebab, dari sinilah pembaca mendapatkan informasi dan bacaan yang akuntabilitasnya tinggi, bisa dipercaya, dan menjadi bahan pengetahuan yang memadai.
Kalau dari jurnalis saja tidak disiplin dalam verifikasi, setiap berita atau artikel yang disajikan boleh jadi sarat dengan kesalahan. Ini baru dalam ranah verifikasi, belum lagi soal penyuntingan, dan kesalahan ketik.
Memang menjadi media yang paripurna itu susah. Tapi itulah tuntutan kepada media massa. Publik seolah tak mau tahu, media harus benar dalam memberitakan. Kesalahan sedikit saja kadang membuat publik sudah tak percaya. Dan ini tentu tidak kita harapkan.
Semoga tulisan kecil ini makin meneguhkan Kompas dan media lain, termasuk tempat saya bekerja, Lampung Post, agar makin ciamik dalam menampilkan artikel berita dan nonberita. Maklum, dalam era media sekarang, orang makin kritis dalam membaca. Sumber alternatif bertebaran di mana-mana. Dengan begitu, publik butuh bacaan yang bisa menjadi referensi. Dan kita ingin Kompas, juga media lain, bisa memenuhi ekspektasi itu. Wallahualam bissawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H