Lihat ke Halaman Asli

Adian Saputra

TERVERIFIKASI

Jurnalis

Menulis Opini: Padat, Berkedalaman

Diperbarui: 24 Juni 2015   15:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Redaktur di koran tempat saya bekerja sering mengatakan bahwa banyak tulisan bagus yang masuk ke redaksi. Namun, si penulis sepertinya tidak membaca keterangan di boks redaksi yang mensyaratkan berapa panjang sebuah naskah dikirim. Dengan redaksi lain, manajemen redaksi sudah membuat ketentuan bahwa tulisan opini yang dikirim sekira 4.000 sampai 5.000 karakter. Jika dikomparasi dengan kertas kuarto, kurang lebih empat halaman dengan spasi 1,5.

Jika tulisan itu bagus tetapi panjang, tentu redaktur mesti mengalokasikan waktu untuk mengeditnya. Memangkasnya sehingga pas dengan ruang di halaman opini. Namun, ada ketentuan tersirat--seperti pernah disampaikan Ketua Dewan Redaksi Media Indonesia Saur Hutabarat--karya opini mutlak milik si empunya karya. Maksudnya, jika tulisan yang dikirim akan dimuat tetapi terlalu panjang, biarlah si empunya naskah yang memotong. Dikhawatirkan ada kesenjangan persepsi antara editor opini dengan si penulis. Meski demikian, si editor opini tetap berhak menyunting sesuai dengan laras bahasa koran dimana ia bekerja.

Agar sebuah naskah itu bisa mulus masuk halaman opini, secara sederhana, teknis menulisnya cuma dua: padat dan berkedalaman

Padat
Tulisan yang padat itu mensyaratkan bahasa yang digunakan populer dan mudah dipahami pembaca. Setiap kalimat yang ditatahkan harus punya makna. Tidak malah membingungkan atau ambigu. Sikap si penulis mesti terlihat jelas dalam setiap pilihan kata dan kalimat yang diurai. Dengan begitu, naskahnya akan terasa sedap dibaca.

Kadangkala, seorang penulis terlalu panjang mengetengahkan sebuah preambule. Ia kurang lihai dalam menulis teras artikel sehingga gagasannya tidak fokus. Kadang, antara satu paragraf dengan paragraf lain tidak koheren atau tidak ada keterpaduan. Padatnya naskah membuat pembaca bisa mengikuti alur berpikir si penulis sejak judul sampai kata terakhir. Pembaca yang membaca tulisan padat sesekali mengangguk-angguk saat menikmati bacaan.

Setiap media pasti memberikan panduan berapa banyak karakter naskah yang bisa dikirim ke meja redaksi. Nah, ketentuan itu semaksimal mungkin diikuti. Jika redaksi mensyaratkan 5.000 karakter, ikuti itu. Sebab, media cetak itu space-nya terbatas. Dengan memenuhi syarat yang ditentukan, ada kans tulisan itu dimuat. Tentu saja dengan memperhatikan syarat mutlak lainnya, semacam aktualitas, penguasaan terhadap topik, dan cara penyajian.

Kalau kita masih termasuk penulis yang agak berpanjang kata dalam menulis, mulai sekarang belajar untuk meringkasnya. Maksudnya, jangan terlalu panjang memulai sebuah naskah untuk masuk ke dalam pokok pikiran. Karena mesti padat, sejak paragraf awal sudah masuk ke topik tulisan. Itu akan memudahkan karena kita akan terbiasa memadupadankan setiap alinea yang kita bikin.

Berkedalaman
Redaksi juga lebih suka sebuah artikel opini yang berkedalaman. Apa maksudnya? Begini. Pembaca tentu menginginkan artikel yang dibaca mampu memberikan banyak pengetahuan dan perspektif. Jika ada opini yang mengurai ihwal aktual dengan kaya dengan data, pembaca pasti suka. Sebab, dengan membaca opini itu, pembaca akan mendapat banyak pengetahuan. Jadi, penulis opini yang baik bukan sekadar mengulang gagasan atau peristiwa saja. Akan tetapi, ia harus mampu menyajikan gagasan yang segar. Boleh jadi, ide segar itu diperoleh dari pembacaan atas karya penulis lain.

Tapi, di situlah titik yang menentukan. Usai membaca dan berdiskusi dengan penulis lain, kita bisa menghasilkan artikel dengan gagasan yang lebih segar. Menulis opini itu pada dasarnya upaya mereproduksi ide. Tanpa banyak membaca dan berdiskusi, kita takkan bisa menjadi penulis yang baik. Justru dengan meluaskan cara pandang, kita bisa menjadi kolumnis yang baik.

Akan tetapi, bukan berarti kita menjiplak atau memplagiat. Yang kita lakukan ialah merekonstruksi lagi semua input yang masuk, kemudian menuliskan sesuai dengan bahasa sendiri. Dari situ kita bisa menemukan konstruksi lain dari sebuah masalah.

Misalnya dalam dunia pendidikan. Kini marak soal pro-kontra kurikulum 2013. Kita sudah membaca banyak artikel soal itu. Dari input itu, kita ingin menulis. Tapi, kita mesti menyajikan naskah yang berkedalaman. Maka, yang mesti kita lakukan ialah merekonstruksi bangun pikiran kita dengan gagasan baru. Jangan mengulang gagasan yang sudah ditulis orang lain. Kalaupun hampir serupa, dukungan atas ide orang lain mesti kita perkaya dengan data dan perspektif sendiri. Jika ingin berkedalaman, carilah sebanyak mungkin info soal itu. Tentu yang belum pernah diurai oleh penulis lain. Kutipan dari tokoh, cuplikan hasil riset lembaga, atau rangkuman dari sebuah seminar, bisa kita jadikan bahan sehingga opini makin dalam.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline