Assalamualaikum teman-temanku yang lucu dan menggemaskan. Meski terlambat, saya tetap menjalankan titah Ibu Ketua FLP untuk mengisi kelas menulis online tentang resensi buku. Supaya jangkauannya meluas, artikel ini saya unggah juga di blog Kompasiana.
Sebetulnya secara teknis sudah saya jabarkan pekan lalu. Banyak juga yang mengomentari sehingga hati ini girang bukan kepalang. Namun, secara teknis, memang cukup sekian teknis menulis resensi, seperti yang saya ketengahkan pekan lalu. Hari ini saya mau memberikan sedikit saja, mungkin tak melulu berkaitan dengan teknis. Tapi ranahnya masih soal resensi buku. Siap ya? Oke, kita lanjut. Yuk, mari!
Ada keuntungan yang bisa kita raup dari menulis resensi. Yang pertama, buku kita bertambah karena kita beli buku. Iya kan? Kalau kita tak suka meresensi, barangkali kita malas membeli buku. Karena kita membeli buku, mau tak mau kita memaksakan untuk meresensi. Paling tidak membacanya. Sayang kan, sudah beli buku berjuta-juta rupiah tapi tak satu pun kita baca. Masakan ada orang yang hanya membeli buku saja tanpa membacanya. Kalau ada, ya tak apa. Mungkin ingin membuat perpustakaan untuk keluarga di rumah.
Kedua, ilmu kita bertambah. Membaca itu, kata orang saleh dan bijak, jendelanya dunia. Pesaingnya sekarang Mbah Google yang rekor mencari kata demi kata di dunia maya semakin moncer saja. Tapi buku tetap punya tempat. Meski ada juga versi e-book, buku secara fisik masih menjadi koleksi yang khas dan klasik. Rasanya, kalau membaca buku tanpa membuka lembar demi lembar kertas, merasakan halus-kasarnya struktur kertasnya, belum lengkap. Apalagi sesekali mengudap dan menyesap secangkir kopi di sore yang dingin usai tertempias hujan. Amboi asyiknya....
Dengan banyak membaca, ilmu kita bertambah. Pramenulis resensi, dengan membaca, informasi yang masuk ke dalam pikiran kita makin banyak. Ini akan memudahkan kita dalam menulis. Ibarat proses produksi, inputnya sudah kita entri. Sekarang saatnya memproduksi tulisan sebagai wujud output proses produksi. Jadi, sebelum meresensi, baca dulu, pahami isinya, nikmati setiap ide di dalamnya, dan cerna ia dengan saksama.
Ketiga, memahirkan kemampuan menulis. Saya sejujurnya lebih suka menulis resensi ketimbang opini. Mengapa begitu. Sebab, dengan objek buku yang habis dibaca, sebetulnya kita agak mudah menulis. Sebab, kita hendak menceritakan ulang isi buku itu dengan gaya bahasa sendiri. Plus, memberikan koreksi, kritik terhadap konten yang kita baca. Karena wujudnya sudah ada, kita bisa lebih mudah menguraikan gagasan. Sebab, kita sudah membacanya terlebih dahulu. Beda kalau kita menulis opini yang berasal dari pemikiran dan gagasan atas sebuah isu yang sedang hangat berkembang. Kita mesti menalar, merangkai satu demi satu ide, mengaitkan dengan konteks peristiwa, membuat sedikit kajian, memberikan kesimpulan, sampai mencoba memberikan solusi.
Namun, meresensi, insya Allah, lebih mudah. Kita tinggal merangkum isi buku, memberikan komentar, dan bisa dengan mengaitkan dengan konteks yang sekarang sedang berkembang. Ya tidak mudah dalam artian mengudap batagor dengan bumbu tentunya. Akan tetapi, paling tidak, bahan yang hendak kita dedahkan itu sudah ada. Dengan semakin sering kita menulis, kita akan semakin mahir. Orangtua dulu bilang, alah bisa karena biasa. Yang mungkin awalnya sulit menulis, dengan berlatih membikin resensi, akan terlatih menyusun kata dengan baik, menatahkan kalimat dengan apik, merangkai alinea dengan ciamik, dan sebagainya.
Keempat, membiasakan kompetisi. Ada banyak lomba, selain tentu resensi yang kita kirim ke media massa atau diunggah di blog, yang bisa kita ikuti. Hampir saban minggu, ada saja momen lomba resensi yang bisa kita ikuti. Ikutilah itu karena dengan begitu kita akan terbiasa berkompetisi. Tak usah risau dengan hasil, apakah kita akan menang atau kalah. Lupakan saja. Menulis, menulis saja. Dikirim saja. Soal dia menang, alhamdulillah. Kalah, ya alhamdulillah juga. Coba terus. Semakin sering kita bertanding dalam lomba resensi, semakin terbiasa kita melihat karya orang dan bisa membandingkan: bagus mana punya orang lain atau punya kita. Dari situ, kita belajar memperbaiki setiap tulisan resensi yang kita hasilkan.
Kelima, dikirimi buku oleh penerbit. Dari pengalaman selama ini, menulis resensi itu bisa menambah buku baru. Selain dari hasil pembelian pribadi, pihak penerbit biasanya juga tak keberatan mengirimkan buku terbaru mereka kepada penulis yang sudah meresensi buku terbitannya. Biasanya sih begitu. Misalnya, kita menulis resensi di sebuah koran dan dimuat. Guntinglah artikel resensi itu, kemudian dikirim ke penerbit buku tersebut. Lampirkan surat bahwa kita sudah meresensi buku dan memohon agar penerbit sudi mengirimkan beberapa eksemplar buku baru kepada kita. Biasanya penerbit dengan sukacita mengirimkan buku. Mengapa? Sebab, resensi kita itu dianggap ikut mempromosikan buku baru mereka.
Buat penerbit besar, dari pengalaman selama ini, mengirim tiga eksemplar buku baru kepada si penulis. Saya banyak menerima buku terbitan Penerbit Buku Kompas lantaran rajin mengirim klipingan resensi ke pihak penerbit. Serial buku Perang Eropa yang ditulis pendiri Kompas, PK Ojong, saya peroleh karena rajin meresensi buku terbitan mereka. Bahkan, ada beberapa buku yang sengaja saya tulis untuk saya minta di dalam surat lantarandi toko buku sudah habis. Salah satunya buku biografi PK Ojong.
Keenam, mendapat honorarium. Menulis resensi di koran tentu mendapat honorarium. Jumlahnya relatif ya soal besar kecilnya. Soal honor ini, bagusnya dijadikan penyemangat saja. Tembus koran syukur, tidak juga syukur. Menulislah lagi. Kalau kita sudah terbiasa, kita bisa mengirimkan banyak resensi ke banyak media. Kalau dimuat, tentu honornya lebih banyak. Keren sekali kalau pas hari Minggu, ada lima resensi kita dimuat di lima media massa yang berbeda.
Andai satu artikelnya diberi honorarium dua ratus ribu perak, berarti ada tabungan satu juta rupiah yang bakal masuk ke rekening kita dalam dua atau tiga pekan setelahnya. Tentu buku yang diresensi juga berbeda. Jangan yang sama. Itu tidak boleh. Tidak etis. Melanggar etiket. Nanti pihak medianya marah. Kirimlah satu artikel resensi ke satu media saja.