[caption id="attachment_308575" align="aligncenter" width="300" caption="Saya bersama kawan-kawan Klub Buku Lampung usai bincang buku "][/caption] Sabtu lalu, 25 Januari 2014, saya diundang oleh Klub Buku Lampung untuk berbagi pengetahuan seputar dunia kepenulisan. Tajuknya sih bedah buku "Menulis denganTelinga" karya saya sendiri. Acara yang diadakan pada pukul 14.00 itu berlangsung di Kafe Brown, dekat Terminal Rajabasa. Konon, nama terminal ini cukup "mengerikan" di telinga pendatang dari Pulau Jawa. Nama "Rajabasa" lebiih dikenal dalam ranah yang kurang baik ketimbang yang baik-baik. Acara bincang seputar dunia kepenulisan berlangsung dengan lancar. Peserta yang hadir juga cukup banyak meski tak sampai membeludak seperti kalau ada konser di Kota Tapis Berseri ini. Sebagian peserta adalah anggota Klub Buku Lampung yang saban bulan mengadakan kopi darat. Sebagian lagi teman-teman yang saya undang via pesan pendek vis ponsel dan BlackBerry Messenger. Selain kopi darat dengan mengundang penulis-penulis lainnya, komunitas ini juga rajin mengadakan kelas menulis puisi. Penyair kenamaan Lampung, Ari Pahala Hutabarat, didapuk menjadi mentor kelas menulis puisi ini. Dalam acara, saya memberikan motivasi kepada peserta yang hadir. Saya mengatakan kunci sukses itu adalah konsistensi. Bakat menulis mungkin penting, tapi persentasenya barangkali hanya di bawah 10 persen. Selebihnya mencoba menulis. Setiap hari. Kita sekarang mengenal Raditya Dika sebagai selebriti baru. Ia bintang iklan. Juga main film. Motor Stand Up Comedy. Dan sebagainya. Kalau sekarang Dika memiliki banyak uang dan popularitas, wajar. Tapi itulah dunia, kita hanya melihat kesuksesan orang hanya sekarang. Tapi kita tidak tahu betapa perjuangan seorang Dika menulis setiap hari di blog sejak 2001, sejak orang lain belum kenal blog. Kita mungkin tidak merasakan, betapa si Kambingjantan itu sudah payah menulis konten blognya dengan tulisan yang khas. Kita juga tidak merasakan betapa seorang Dika berputar-putar mencari penerbit untuk buku perdananya, Kambingjantan. Itulah yang namanya konsistensi. Visi besar menjadi penulis memang harus diimbangi dengan aktivitas keseharian yang terjaga. Daily activity istilah kerennya, hehehe. Menulis, buat setiap orang, pasti berbeda makna dan visinya. Ada yang menulis karena hobi, ada yang karena niat mencari uang, dan ada yang sekadar berbagi dan senang jika tulisannya dibaca orang lain. Buat saya, menulis itu salah satu bentuk ibadah. Saya tahu, setiap muslim itu amalannya terputus jika ia mati, kecuali tiga hal: sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakan kedua orangtuanya. Menulis, buat saya, ada di noktah yang kedua. Menulis itu, terutama yang punya visi bermanfaat untuk orang lain, pasti punya dampak. Sebuah tulisan barangkali bisa mencerahkan orang lain, menginspirasi orang lain, dan menggerakkan orang untuk berbuat baik. Buku saya, Menulis dengan Telinga, saya niatkan untuk itu. Termasuk juga dengan sedikit tulisan di blog Kompasiana ini. Saya menjelaskan demikian saat sesi bincang buku itu. Yang membuat saya terhenyak, saat saya membuat tugas menulis untuk peserta, ada peserta yang menulis reportase bincang buku itu dengan judul "Menulislah, sebelum kematian itu datang." Yoga, nama peserta itu, menulis dengan baik reportase selama saya menyampaikan materi. Tulisan Yoga soal menulislah, sebelum kematian itu datang, berhasil menohok saya. Saya sendiri tak punya pretensi membuat kesimpulan yang demikian. Namun, saya senang, Yoga mampu membuat saya sadar, bahwa ujaran saya ternyata punya implikasi yang luas. Saya juga senang, Yoga menyadarkan kami, untuk selalu menulis, menebar manfaat untuk orang lain. Andaipun kami mati, ada amalan andalan yang bisa terus dinikmati orang lain. Selama ilmu itu berguna, pahala buat penulis yang mangkat, akan terus mengalir. Saya pun ingin ada di noktah itu. Menikmati amalan meski sudah tiada di dunia. Menulis itu menatahkan sejarah. Karena kita menulis, ide dan gagasan kita selalu ada, abadi, dan bisa diapresiasi orang lain. Syukur-syukur jika tulisan itu mampu mencerahkan dan membuat orang terinspirasi. Sulit bagi orang lain melakukan rekam jejak terhadap intelektualitas seseorang jika ia tidak menulis. Sebab, dengan menulis, kita membuat prasasti terhadap ide yang kita miliki. Soal subjektivitas dalam tulisan yang dibuat, itu sudah tentu. Sebab, yang baik menurut kita, belum tentu benar menurut orang lain. Yang betul menurut kita, boleh jadi tidak betul menurut orang lain. Semua bergantung pada cara pandang kita terhadap soal tertentu. Kembali ke soal menulislah sebelum kematian itu datang. Adanya blog Kompasiana merupakan medium yang baik untuk meneruskan tradisi menulis. Kita yang terpaku pada cara pandang menembus media cetak, akan terbantu dengan adanya blog. Dahulu, seseorang belum disebut penulis kalau belum menembus media massa. Tapi sekarang, hal itu tidak berlaku lagi. Adanya blog membuat setiap orang bisa menjadi penulis. Dahulu, kita mungkin frustrasi jika tulisan tak kunjung tayang di media massa. Berkali-kali mencoba, kita belum sukses juga. Tapi sekarang, itu tidak berlaku. Jika kita memiliki ide yang segar, blog menjadi sarana untuk menyiarkannya. Dalam beberapa kali bincang soal kepenulisan, saya memang menekankan hal itu. Jangan sampai gara-gara tulisan tidak dimuat, aktivitas menulis kita berhenti. Misi untuk menembus kolom opini, sastra, dan reportase di media massa, tetap kita pancangkan. Namun, itu diimbangi dengan banyak berlatih dengan memperbarui konten blog yang kita kelola. Andaipun kita ditakdirkan tak jua mampu menembus media massa, itu tidak menjadi masalah. Ada banyak orang yang sukses dalam menulis tanpa sekalipun tulisannya dimuat media massa arus utama. Media mungkin punya banyak pertimbangan untuk memuat tulisan kita. Padahal, kita yakin, tulisan kita bagus. Jika itu terjadi, teruslah menulis. Jangan berhenti. Seperti topik tulisan ini, "menulislah sebelum kematian itu datang". Rendah hati, saya kira penting untuk dipahami dan dipraktekkan setiap penulis. Jangan sampai, saat kulminasi tertinggi dunia kepenulisan sudah kita rengkuh, kita menjadi orang yang sombong, tidak mau belajar lagi, dan suka merendahkan orang lain, terutama mereka yang baru meniti karier kepenulisannya. Dalam sesi bincang buku Sabtu lalu, saya terkesan dengan seorang peserta bernama Amalia Achmad. Saat sesi tanya jawab berlangsung, dia bertanya bagaimana menulis opini yang baik sehingga mampu menembus media massa. Saya menjawab sesuai dengan apa yang saya ketahui. Lia, sapaan akrabnya, juga membungahkan hati saya saat dia bilang, gaya bahasa saya seperti orang yang bertutur sehingga mudah dipahami. Makin terkejut, saat ia meminta tanda tangan saya di buku Menulis dengan Telinga edisi yang pertama. Sebab, buku itu saya tahu sudah lama habis beberapa bulan usai diluncurkan pada Mei 2012. Yang sekarang beredar, revisi kedua, dengan perubahan pada cover dan beberapa bab di dalamnya. Namun, keterkejutan saya tidak berakhir sampai di situ. Hari ini, sesaat sebelum saya menulis ini untuk Kompasiana, istri saya memberi tahu, Amalia Achmad itu termasuk cerpenis nasional. Beberapa cerpennya diterbitkan Media Indonesia, Suara Karya, dan Koran Tempo. Saya mengucap hamdalah. Betapa orang seperti Lia, yanv cerpennya beberapa kali dimuat di media nasional, masih mau datang ke sebuah diskusi ringan soal kepenulisan, sebuah tema yang barangkali dia kuasai lebih baik ketimbang saya. Saya terkesan saja, ternyata meski sudah menasional, seorang Lia pun masih mau hadir. Buat kita yang ingin jadi penulis, hal itu bisa dicontoh. Jangan pongah meskipun kita punya kemampuan mumpuni dalam dunia tulis-menulis. Andai kita jemawa, tentu sulit menjadikan karya bermanfaat untuk orang lain. Dan visi "menulislah sebelum kematian itu datang" bakal sulit dipenuhi. Saya berkenalan banyak dengan penulis yang karyanya sudah banyak. Beberapa memang masih mau berbagi dengan anak-anak muda yang kepingin mengikuti jejaknya. Tapi ada juga yang tertutup. Sekadar permintaan wawancara untuk media saja tidak mau. Memang sih, itu hak mereka. Mungkin untuk menjaga privasi. Akan tetapi, jika ada penulis muda yang ingin belajar dan meminta saran, tentu kurang etis jika menolak dengan alasan privasinya terganggu. Buat saya, penulis yang signifikan itu adalah mereka yang sudi berbagi ilmu dengan siapa saja. Tidak perlu menunggu untuk menjadi terkenal kalau sekadar ingin berbagi ilmu. Kemampuan yang masih sedikit, bisa saja dibagi. Barangkali kita menilai kemampuan kita masih sedikit. Namun, buat orang lain sudah mumpuni. Di noktah itulah ada pertemuan antara kebutuhan calon penulis dengan keinginan berbagi dari mereka yang berpengalaman. Menulis di Kompasiana, buat saya, juga ajang berbagi. Tentu bukan bermaksud menunjukkan bahwa kita bisa dan mampu. Niatnya tentu saja berbagi ilmu. Dan itu adalah ilmu yang bermanfaat. Andai kita mati, ilmu itu akan terus direguk oleh pembaca. Dan selama ilmu itu dipraktekkan orang lain, kita sebagai si empunya ide, akan menerima limpahan pahala, insya Allah. Maka, yuk, menulislah, sebelum kematian itu datang. Wallahualam bissawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H