Lihat ke Halaman Asli

Adian Saputra

TERVERIFIKASI

Jurnalis

Kita Butuh Perempuan Jurnalis

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Dalam ranah jurnalistik, memang masih sedikit perempuan yang menekuninya. Kalau ada diskusi atau konferensi pers di kantor kami di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung, jumlah perempuan jurnalis yang datang selalu lebih sedikit ketimbang yang laki-laki. Demikian juga acara lain. Media massa juga acap memprioritaskan pria untuk menjadi reporter ketimbang perempuan. Padahal sekarang kita butuh perempuan jurnalis. Mengapa begitu? Ada beberapa alasan. Pertama, kita butuh bacaan yang manusiawi. Feature di media massa umumnya sarat soal sisi kemanusiaan. Wartawan yang pria memang bisa menulisnya. Bagus pula. Akan tetapi, jika banyak perempuan jurnalis yang berkiprah di titik itu, artikel yang dihasilkan barangkali lebih variatif. Sisi psikologis perempuan yang lembut bisa menghadirkan suasana reportase ke dalam tulisan. Saat ada siswi SMA tidak lulus UN, empati seorang jurnalis perempuan bisa jadi lebih kuat ketimbang yang laki-laki. Dengan kedekatan jenis kelamin, siswi tadi bisa dengan terisak menuturkan perasaannya tidak lulus UN di saat semua karibnya lulus. Perasaan perempuan jurnalis akan kuat mengangkat isu soal ketidaklulusan itu ketimbang yang laki-laki.
Dalam feature-feature soal kemiskinan, keluarga, ihwal ibu, perempuan jurnalis lebih kuat sisi manusiawinya. Seorang perempuan jurnalis bisa menulis dengan emosi, empati yang kuat. Ia juga bisa menuliskan bagian paling penting dari isu sebuah kejadian. Perempuan punya spektrum yang barangkali lebih tajam ketimbang jurnalis pria. Istri saya kebetulan jurnalis televisi. Sudah setahun ia dipromosikan sebagai produser dan koordinator liputan. Saya acap berdiskusi dengannya soal tema-tema liputan. Dan, dalam noktah ini, karya jurnalistik memang butuh sentuhan perempuan. Saat hampir semua jurnalis meliput persiapan Imlek, tema soal kue keranjang, kesenian barongsai, dan segala pernak-pernik menjadi bahan liputan. Tetapi beberapa jurnalis perempuan mencoba sudut pandang lain. Mereka mewawancarai orang-orang kecil yang terlibat dalam persiapan perayaan. Mereka yang membersihkan wihara, menyapu, berjaga di wihara, mampu diangkat ke dalam tulisan dengan sentuhan yang sangat manusiawi.
Tulisan yang sifatnya manusiawi sekarang ini dibutuhkan. Tulisan atau reportase yang menginspirasi ditunggu oleh khalayak. Publik akan jenuh jika melulu disodori pemberitaan "keras" semacam korupsi, isu TKI, dan sebagainya. Isu itu tetap penting, tetapi artikel yang manusiawi juga enak dibaca dan punya kemanfaatan yang luas. Dan di titik itulah kehadiran perempuan jurnalis menjadi penting.
Kedua, intuisi kemanusiaan. Sisi kemanusiaan memang tak melulu didominasi perempuan. Dengan emosinya yang mudah tersulut, perempuan jurnalis bisa menghadirkan nuansa kemanusiaan dalam setiap reportasenya. Pastilah ada sisi menarik dalam sebuah peristiwa besar. Pasti ada cerita soal manusia di antara hiruk pikuk pemberitaan. Saya secara pribadi menunggu adakah tulisan yang sarat kemanusiaan dari sisi Angelina Sondakh yang sedang terjerat kasus Wisma Atlet. Mungkin bagaimana keteguhan sikap keluarga atas kasus itu. Di luar persepsi publik soal Angelina yang terseret kasus, cerita di balik itu pasti menarik. Demikian juga dengan kejadian lain. Perempuan memang punya sisi manusiawi yang agak berlebih. Dan jurnalis perempuan diharapkan bisa memotret itu dan menjadikannya artikel yang memikat.
Ihwal mereka yang terinfeksi HIV/AIDS juga menjadi tulisan yang bernas jika mengangkat sisi terdalam dari mereka yang terinfeksi. Bukan serta-merta berita "keras" soal betapa negara belum memberikan hak kepada orang terinfeksi. Dan jurnalis perempuan pastilah punya perspektif tersendiri saat mereportase isu sensitif ini. Mungkin cerita soal pasangan yang terinfeksi, menikah, dan punya anak yang sehat. Ini jelas menarik untuk dibaca. Atau mungkin soal perjuangan aktivis antidiskriminasi menghadapi sikap di keluarga dan lingkungan. Ini juga bahan tulisan yang memikat.
*
Buku Jangan Tulis Kami Teroris yang ditulis Linda Christanty, menurut saya adalah satu dari sedikit reportase menarik yang dibikin perempuan jurnalis. Soal kekerasan di Aceh, perjuangan demokrasi di negara Asia Tenggara, juga soal syariat Islam di Nangroe Aceh Darussalam, dikupas Linda dengan apik. Sisi humanisme yang kuat tecermin dalam hampir semua artikel yang tersaji.
Kita jelas butuh banyak perempuan jurnalis. Selain Linda, di beberapa harian, ada perempuan jurnalis yang juga fokus pada isu tertentu. Sekadar menyebut nama, ada Maria Hartiningsih, Ninuk Pambudy. Kita jelas butuh lebih banyak perempuan jurnalis. Karena kita juga butuh artikel mencerdaskan dari mereka. Meski demikian, pandangan orang soal profesi jurnalis yang tak kenal waktu, acap menjadikan banyak perempuan mundur dari jalur jurnalisme. Padahal, dengan sedikit kelonggaran dari kantor, mereka bisa diberdayakan. Tak apa tidak setor berita setiap hari, asalkan mereka mampu menghasilkan feature yang memikat dan disajikan bersambung saban hari. Semoga ke depannya lebih baik untuk mereka: untuk para perempuan jurnalis. Karena khalayak butuh bacaan dan reportase yang memikat dan cerdas. Sudah pasti juga sarat pesan kemanusiannya. Wallahualam bissawab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline