Ibu saya seorang guru. Usianya hampir 60 tahun. Ia mengajar di sebuah sekolah dasar. Tiga tahun lagi ia pensiun. Sejak dua tahun lalu ia mengikuti kuliah lagi demi gelar sarjana. Tahun ini kuliahnya rampung. November nanti wisuda. Ibu sudah punya tiga cucu. Dua dari adikku, satu dari kami sekeluarga. Buat saya, sosok Ibu luar biasa. Bayangkan, sudah sepuh dan hampir pensiun, masih semangat belajar. Semangatnya dalam belajar boleh diacungi jempol. Tak cuma kami di keluarga yang salut. Beberapa sejawatnya di sekolah dan kampus bahkan menjadikannya teladan. Bukan apa-apa, semangatnya untuk belajar itu yang luar biasa. Ia rela bersusah payah membuat skripsi kemudian menghafal semua isi skripsi supaya saat sidang bisa menjawab pertanyaan penguji. Kadang saya mengantarnya berkeliling kampus untuk mencari dosen. “Ternyata jadi mahasiswa itu susah juga ya. Kadang ada dosen, kadang enggak. Nunggu dosen, lama,” ujarnya.
Keaktifan Ibu di ruang kuliah juga baik. Saya sesekali menelisik, ia tekun mencatat dan bertanya. Bahkan, kadang menjadi referensi buat mahasiswa lain, lebih tepatnya, nenek-nenek yang lain. Maklum saja, hampir semua teman sekuliahnya itu sudah punya cucu dan hampir pensiun.
Setiap ada tugas kampus, Ibu juga berupaya mengerjakannya dengan baik. Kalau ada diksi atau istilah yang tidak ia pahami, kadang bertanya kepada kami. Biasanya soal arti kata atau kosakata. Karena rajin begitu, penjelasan dosen bisa dicerna dengan baik. Bahkan, si dosen acap memuji Ibu dan meminta mahasiswa lain mencontohnya. “Nah, kayak ibu ini. Rajin tanya dan jawab. Ibu-ibu yang lain mestinya demikian. Walau sudah tua, semangat kita mestinya tetap dijaga,” kata seorang dosen.
Rampungnya Ibu menjadi sarjana pendidikan, paling tidak membawa kebahagiaan buat ia dan keluargnya. Ibu adalah anak ketujuh dari sembilan bersaudara. Dan dengan keberhasilan ini, trah keluarganya “pecah telur”. Ada juga sarjana dari keluarga besar ibu. Sebab, enam kakak dan dua adik ibu tak ada yang sarjana dan rerata ibu rumah tangga. Tentu tanpa menafikan peran sebagai ibu rumah tangga, keberhasilan ibu menjadi sarjana jelas membanggakan.
Untuk kami sekeluarga, ini juga penting. Saya sendiri memang sarjana. Tetapi kedua adik saya belum sarjana. Yang pertama PNS di lingkup Kementerian Kehutanan dan satu lagi diploma yang bekerja di bank swasta di Pulau Borneo. Nah, keberhasilan Ibu paling tidak memantik semangat kami dalam mengejar pendidikan setinggi mungkin. Kami jelas tidak “gila gelar”, tetapi tak ada salahnya itu dikejar mumpung masih muda. Apalagi untuk adik yang bekerja sebagai abdi negara. Kalau mengandalkan lulusan Sekolah Kehutanan Menengah Atas, rasanya tak bakal cepat naik pangkat. Tapi kalau sudah sarjana, barangkali ada kans ke arah sana.
Ibu perempuan yang gigih. Saat ayah kami di-PHK tahun 1997 silam, Ibu jadi motor di rumah tangga. Di sela kesibukan mengajar, ia masih sanggup membuka usaha bordir. Dari sana, dapur di rumah bisa mengebul. Dan kami semua serius belajar. Malu rasanya tak sukses studi padahal orangtua sudah berusaha maksimal.
Kebanggaan itu memang menumbuhkan energi tersendiri. Dan noktah di mana Ibu menjadi sarjana, membuat kami bertambah semangat menjalani hidup. Kami semakin semangat untuk belajar. Kami malu. Masak dengan “nenek-nenek” yang mau pensiun saja kami kalah. Selamat buat Ibu atas gelar sarjananya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H