Lihat ke Halaman Asli

Adian Saputra

TERVERIFIKASI

Jurnalis

Menulis Editorial dengan Teknik "The Raid"

Diperbarui: 25 Juni 2015   07:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Saya pernah menulis "Menulis Editorial, Pakai Mitraliur, Jangan Pistol". Intinya menulis editorial atau tajuk rencana itu, dari awal sudah kencang. Nah, usai menonton film The Raid kemarin, saya mendapat ide. Gagasannya hampir sama dengan tulisan terdahulu. Cuma kali ini lebih enak karena komparasinya sebuah film.
*
Kalau yang sudah pernah menonton film The Raid, pasti merasakan alur ceritanya lurus dan kencang. Sejak pasukan elite antinarkoba pimpinan Sersan Jaka masuk ke apartemen bos narkoba Tama, jantung kita berdegup terus. Adegan tembak-tembakan, berkelahi, terus berlangsung. Kencang begitu.

Nah, menulis tajuk rencana, sebagai sikap resmi media, juga mesti demikian. Karena ruangnya terbatas, penulisnya--biasanya wartawan senior atau pemimpin redaksi--pertama, mesti menjaga agar napas editorial itu kencang. Misalnya sikap media soal kenaikan harga BBM. Kalau sikap medianya menolak, sejak paragraf awal sudah diketengahkan pokok persoalan. Selanjutnya, paparkan kenapa kenaikan harga BBM mesti ditolak. Apa imbasnya. Mengapa tak ditempuh cara lain. Dan sebagainya. Jadi, pembaca akan merasakan magnet tulisan itu sejak membaca judul dan paragraf awal. Pembaca seperti tidak diberi waktu untuk berlepas dari tulisan. Pembaca akan mengikuti alur tulisan, satu kata demi satu kata. Satu kalimat hingga kalimat lain. Sama seperti menyimak The Raid, hampir tak ada celah untuk melakukan aktivitas atau berpikir yang lain. Fokus ke film. Fokus ke tulisan.

Kedua, ceritanya kuat.
Film besutan Gareth Evans ini punya cerita yang kuat. Pesannya pasti: tidak semua polisi bisa dibeli. Dari awal sampai akhir film, pesan itu yang coba disampaikan. Fokus kepada pemeran utama, Iko Uwais, The Raid berhasil membawa perspektif penonton dengan konten pesan.

Menulis tajuk pun demikian. Pesan yang diangkat oleh si penulis haruslah kuat. Mengapa kenaikan harga BBM mesti ditolak. Pesannya itu yang ditunggu. Basis datanya mesti jelas. Uraian yang akan diangkat juga lugas, tidak bertele-tele. Fokus pada sasaran. Hantam dan hancurkan. Keterpaduan pesan dalam semua senarai naskah tajuk juga mesti dijaga. Dijaga agar konten tidak keluar dari pesan utama. Dari awal sampai akhir, babat habis!

Terakhir, memikat.
Sebagai film laga, semua aksi yang tersaji dalam film itu sangat memikat. Saya beberapa kali berdecak kagum dan bertepuk tangan usai satu laga ditaja. Memikat sekali. Sesuatu banget. Dalam ranah tajuk, bahasa menjadi faktor penting. Pesan yang kuat tak bakal menarik jika tata bahasanya tidak apik. Bahasa adalah faktor pemikat. Ibarat orang pintar mau menyampaikan sesuatu secara lisan. Ia tahu apa yang mau dibilang. Tapi cara bicaranya sama sekali tidak menarik.
Tajuk mesti memikat dan bahasa adalah daya pikat itu. Yang paling kentara ialah penggunaan kalimat yang ringkas. Seperti yang sudah-sudah, kalimat yang baik punya 8 sampai 14 kata. Pengukuran ala Fog Index mensyaratkan itu. Kalimat di atas 14 kata berpeluang membikin capek pembaca. Bisa membuat pesan berlarut-larut sampai.

Penggunaan diksi juga penting. Keragaman lema menjadi keharusan agar pembaca mendapat beragam perspektif. Kenikmatan pembaca menikmati tajuk adalah yang utama. Dan saya menyarankan kepada semua yang berminat menulis tajuk agar menonton The Raid. Hajar dari awal sampai akhir.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline