Selamat kepada semua pekerja pers Indonesia yang hari ini merayakannya. Selamat juga kepada organisasi profesi pers, Persatuan Wartawan Indonesia, yang menjadi awal sejarah pers Indonesia. Juga kepada elemen organisasi profesi pers lainnya, seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang memantik demokrasi usai pembredelan tiga media oleh rezim Orde Baru: Tempo, Detik, dan Editor.
Juga buat Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) yang bersama PWI dan AJI lolos verifikasi Dewan Pers. Persoalan utama pers sekarang bukanlah soal kekerasan terhadap jurnalis. Soal masih ada bentuk intimidasi terhadap wartawan, itu memang tak bisa dimungkiri. Jumlahnya masih signifikan. Bahkan intensitasnya naik terus.
Ada yang rumahnya dibakar sampai anaknya meninggal karena shock, ada yang diculik, bahkan ada yang meninggal dunia. Itu memang persoalan nyawa dan sangat sensitif. Mengatakan ini tak lagi penting, tentu tak bijaksana.
Artinya, persoalan intimidasi memang masih menjadi perhatian bersama. Kita juga mendesak kepolisian agar bisa melindungi jurnalis dan tidak menjadi pihak yang mengintimidasi. Juga kepada ormas dan organisasi lain yang acap berdemo yang ujung-ujungnya bentrok.
Satu poin menarik lainnya ialah kompetensi wartawan yang sekarang didengung-dengungkan. Intinya ialah jurnalis harus melewati uji kompetensi. agar layak menyandang "gelar" wartawan. Tanpa itu, ia tidak bisa menjalankan tugasnya sebagai jurnalis. Bahkan, ekstremnya, narasumber bisa menolak jurnalis yang belum lulus uji kompetensi.
Niatnya barangkali bagus, tetapi ke depan ini juga kontraproduktif. Saya pernah menulis ini dengan "Wartawan Amplop Enggak Usah Bicara Kompetensi". Tema ini menarik dan ke depan akan saya tulis secara khusus.*
Yang menjadi persoalan serius menurut saya ialah upah atau penghasilan jurnalis. Dasar pemikirannya sederhana. Media atau pers kini menjadi industri. Ia memang berangkat dari idealisme dan keinginan melakukan kontrol kepada kekuasaan. Tugas yang begini mesti ditunjang oleh kesejahteraan jurnalisnya.
Mengapa itu penting? Sebab, profesionalitas jurnalis mesti dihargai. Duit memang bukan ukuran segala-galanya atas nama profesionalitas. Penghargaan atas karya jurnalistik juga tak semata dinilai dengan uang.
Cuma, ini menjadi penting supaya jurnalis bisa menghasilkan produk jurnalistik yang bagus. Akan terasa kontradiktif, pekerja pers memberitakan upah buruh yang murah, sedangkan gaji mereka sendiri tak lebih baik. Gaji yang baik itu tentu mencukupi kebutuhan hidup jurnalis dan keluarganya.
AJI dalam beberapa tahun terakhir melakukan survei. Di Bandar Lampung, ketemu angka Rp 2,5 juta untuk tahun 2011. Besar ya? Tapi, jangan salah sangka dulu. Angka ini buat jurnalis lajang/gadis yang baru diangkat sebagai karyawan.
Jadi, kalau jurnalis sudah punya istri dan dua anak saja, angkanya pasti lebih besar. Bisa Rp 4 juta sampai Rp 5 juta rupiah. Ini Bandar Lampung. Kota lain, semisal Jakarta, angkanya jelas lebih besar.