Mengirim artikel ke media nasional di Jakarta acap saya lakukan saat awal menulis. Saya ingat, tulisan opini yang saya kirim pertama malah ke Republika. Judulnya "Jilbab dan Agenda Reformasi". Tulisan itu saya bikin sekitar Juni 1998, satu bulan usai Soharto jatuh. Tulisan itu tak dimuat. Sebulan setelah saya kirim via naskah, redaksi mengirim balasan. Isinya sudah jelas kan, hehehe, karya saya ditolak! Tak apa, saya kemudian mengirim lagi. Ada kira-kira empat kali saya mengirim lagi dan ...ditolak! Dalam surat resminya, redaksi menyebut "redaksi kesulitan memuat" dan "ada banyak tulisan serupa". Saya juga sempat mengirim dua kali artikel ke majalah Tarbawi, alhamdulillah juga ditolak. Akhirnya saya membidik koran lokal. Lampung Post. Beberapa senior di kampus juga acap menulis di sana. Dengar-dengar juga sulit menembus koran itu. Honornya di akhir 1990-an berkisar Rp 60 ribu. Kebetulan saya aktif juga di pers mahasiswa: Pilar Ekonomi.
Saya mulai mencoba menulis. Beberapa kali tidak dimuat. Pas ada diklat menulis opini, saya ikut. Penjelasan dari dosen komunikasi, penulis lepas, dan wartawan media saya dengar. Sedikit demi sedikit tahu artikel model apa yang diinginkan media. Pascakursus, saya menulis lagi. Masih belum dimuat. Sekali mengirim cerita anak, eh malah dimuat. Dari situ antusiasme menulis berlipat-lipat.
Akhirnya opini perdana dimuat Lampung Post. Menulisnya berdua dengan pemimpin redaksi Pilar Ekonomi. Honornya bagi dua. Rp 75 ribu tahun 1999 lumayan juga. Dari situ menulis terus. Ada yang dimuat, lebih banyak yang tidak. Dari bertanya kepada redaktur opini dan mengamati, saya bisa memahami mengapa artikel kita ditolak. Intinya begini, bukan berarti artikel yang ditolak itu jelek. Lantas?
Pertama, temanya tidak pas.
Kita barangkali pandai menulis. Semua tema bisa kita tulis. Politik iya, ekonomi oke. Budaya bisa, sastra boleh juga. Nah, bisa jadi saat kita menulis soal ekonomi dalam skala global, tema yang sedang aktual adalah pemilihan kepala daerah. Karena kita tak seberapa menguasai tema politik, artikel kita "tak dilirik". Bagus mungkin iya, tetapi yang dibutuhkan pengelola media adalah artikel yang sedang hangat. Ini memberikan pelajaran kepada kita agar sebisa mungkin menulis tema yang aktul. Caranya? Perhatikan halaman depan koran yang mau kita tuju itu. Kalau headline-nya soal kerusuhan, ya itu yang paling pas. Sebab, redaktur opini juga mengharapkan artikel yang turun di halamannya mengandung aktualitas seperti halnya berita.
Kedua, tema yang sama bertumpuk.
Bisa jadi naskah kita tak dilirik karena yang mengirim tema itu teramat banyak. Makin sulit bersaing karena setiap naskah bagus. Punya kita juga bagus, tetapi cara penguraian penulis lain lebih baik. Kalau redaktur menerima tulisan yang oke punya dan banyak, tidak masalah. Ia malah senang. Soal ia susah menentukan mana yang mau dipilih, itu soal lain. Diambil salah satu saja itu sudah bagus. Kalau ada 20 artikel dan redaktur hanya menurunkan dua, yang 18 akan dibuang. Kalau temanya benar-benar aktual, sudah pasti besok jadi basi. Jadi, tulisan kita dimuat mungkin karena ini. Tulisan kita oke, tulisan orang lain lebih oke.
Ketiga, "gara-gara tulisan Pak Amien Rais".
Ini amsal saja. Misalnya saya redaktur opini. Saya menelepon Pak Amien Rais sebulan yang lalu agar ia menulis soal sidang tanwir Muhammadiyah. Kebetulan tempat acaranya di Lampung. Sebulan belum ada jawaban. Email yang saya kirim tak dibalas. Pesan pendek via ponsel juga tak berbalas.
Menjelang pembukaan sidang tanwir, saya siap menurunkan tulisan soal itu. Tapi yang menulisnya bukan Pak Amien. Anggaplah Anda yang menulis. Sore ketika halaman mau rampung, ponsel saya berdering. Nama yang tertera di layar ponsel saya "Amien Rais". Suara di ujung sana mengatakan, "Assalamualaikum, Mas Adian, saya baru saja kirim tulisan soal tantangan Muhammadiyah ke depan, seperti yang Mas minta sebulan lalu. Terima kasih, Mas. Maaf terlambat. Wassalamualaikum."
Percayalah, dalam beberapa detik, saya pasti terdiam. Termangu. Serasa mimpi. Benarkah yang menelepon saya itu tokoh reformasi yang terkenal itu. Setelah menguasai diri, saya yakin saya tidak mimpi. Saya pun cuma mampu mengucap, "Terima kasih, Pak."
Artikel yang sudah siap cetak, sudah tentu saya ganti. Amien Rais, Gan!
Beribu maaf saya sampaikan kepada si penulis yang tulisannya saya gusur demi memuat tulisan seorang Amien Rais. Ini yang namanya name make a news. Nama itu membuat berita. Saya jelas bangga dong, Pak Amien cuma menulis itu di koran saya. Marwahnya itu yang tak bisa diukur. Jika Anda-lah orang yang tulisannya tak jadi diturunkan, saya minta maaf. Pak Amien, coy!