Lihat ke Halaman Asli

Adian Saputra

TERVERIFIKASI

Jurnalis

Swaediting: Bikin Tulisan Lebih Ramping

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13257652131887598583

[caption id="attachment_161523" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Mudah mana menulis atau mengedit? Dari pengalaman, masih mudah menulis. Kalau bikin artikel di koran, asal topik sudah dikuasai, narasi sudah jadi, dan rasanya oke, segera dikirim. Diedit juga, tapi sedikit saja. Toh kalau nanti mau dipublikasikan di koran, ada redakturnya. Masih ditambah dikoreksi dengan tim bahasa atau copy editor.  Nah, kalau mengedit, itu jauh lebih sulit. Seorang editor menyunting naskah dari penulis. Seorang redaktur mengedit tulisan reporter. Babat sana-sini. Ganti lead, kasih judul. Membereskan tanda baca, huruf besar-kecil. Logika diperiksa dan oke. Masih gampang sebetulnya. Mengedit tulisan orang sih. Sekarang, coba menyunting tulisan sendiri. Susah, kan? Menyunting tulisan sendiri membenturkan psikologis penulisnya dengan teknik editing. Ada tiga hal psikologis jika kita melakukan editing atas karya sendiri (swaediting). Pertama, berat mengubah tulisan sendiri. Kita sih merasa tulisan sudah oke. Tapi saat kita baca lagi beberapa kali, ada yang masih bisa disempurnakan. Misalnya, alinea yang tak kuat bertebaran di bagian atas. Kita sebetulnya bisa mengubah itu. Tapi, kecenderungannya, kita malas. Sayang banget sudah capek-capek menulis, masak diubah lagi. Padahal, yang akan kita lakukan itu sepele. Cuma memindahkan dan menempatkan satu-dua paragraf ke bagian lain. Tapi, malasnya itu lo, minta ampun! Kedua, larut emosi ke tulisan. Bukannya mengedit, kita malah menikmati benar tulisan itu. Sambil senyum sendiri kita membatin tulisan itu sudah bagus. Tak ada yang perlu dibenahi. Kita malah terbawa dengan emosi dan sulit mengubahnya. Alih-alih skeptis dengan tulisan sendiri, kita malah yakin tulisan itu sudah bagus. Padahal boleh jadi ada beberapa hal yang masih bisa diedit. Toh semua demi kesempurnaan tulisan. Tetapi ya itu tadi, swaediting selalu membikin kepala pusing. Mau mengubah, sayang. Malah kita larut dalam konten tulisan. Ketiga, sayang memotong bagian yang tak perlu. Ini juga penyakit swaediting. Kadang di tulisan kita berhamburan kata atau diksi mubazir. Acap pula banyak pengulangan. Kutipan yang kita bikin juga sering tak sesuai dengan konteks tulisan. Tapi barangkali karena rima tulisannya enak, kita malas membuangnya. Sayang kata kita. Padahal bisa jadi redaktur artikel koran dan majalah yang bakal membaca itu, teliti orangnya. Setiap kesalahan kecil saja bisa membuat mereka tak berkenan memublikasikan tulisan kita itu. Andai kita mau bersusah sedikit dengan membuang hal yang tak penting, hasilnya positif. Jika ada banyak "kolesterol jahat" dalam tubuh tulisan mampu kita babat, tulisan akan ramping. Bersih. Trengginas. Dan redaktur pun senang dengan tulisan yang fokus dan rapi. Ujung-ujungnya tulisan kita nampang di halaman koran. Nah, supaya swaediting ini tak melulu bikin pening, beberapa poin ini barangkali bisa membantu. Pertama, yakin itu demi kebaikan sendiri. Melakukan swaediting perlu keyakinan bahwa itu dilakukan buat keparipurnaan naskah. Kita mesti ketat dalam melakukan penyuntingan. Jangan bersayang-sayang dengan sesuatu yang memberatkan konten tulisan. Kalau kita tak melakukan swaediting dengan baik, karya kita tak bakal bagus. Maka, yakinkan bahwa ini penting dilakukan. Mengirim artikel dengan keyakinan bahwa itu sudah "sempurna" kan baik. Tidak ada sakwasangka lagi kalau tulisan itu mesti dibenahi lagi. Jadi, yuk, yakin swaediting takkan bikin pening! Kedua, skeptis dengan karya sendiri. Mengkritik karya orang lain itu mudah. Yang sulit mengkritik karya sendiri. Skeptis ini namanya. Dalam swaediting, kita kudu melakukan ini. Skeptis bahwa karya kita itu masih buruk. Dengan begitu, tangan kita akan ringan membabat, menggunting, mengubah, bahkan merombak tulisan. Tak apa sulit sedikit di awal untuk bagus di akhir. Saya pernah menulis untuk Lampung Post soal budaya membaca dan kaitannya dengan tradisi intelektual. Sayangnya redaktur tak berkenan. Untungnya dia memberi masukan. Begini, begitu. Begitu, begini. Dia sarankan saya membaca artikel sejenis di koran lain. Saya ikuti. Akhirnya tulisan itu tak terpakai. Cantelan peristiwa tetap sama tetapi kontennya berbeda seratus delapan puluh derajat. Tulisan itu akhirnya jadi dan memang punya gereget yang lain. Lebih punya taji begitu. Akhirnya setelah saya tulis, edit kembali, kirim, dan dimuat. Susah lo merombak semua tulisan dengan yang baru. Tetapi karena kita skeptis terhadap karya, bisa juga. Karya itu rampung juga. Syukurnya naik cetak. Jadi, tak apa skeptis dengan karya sendiri. Mencurigai tulisan sendiri. Ketiga, berlakon editor. Cara ini bisa dilakukan sebagai alternatif. Cuma, supaya seriusan, jangan mengedit di komputer. Coba print tulisan itu. Berlagaklah kita seperti seorang editor yang mengedit tulisan orang lain. Kalau masih di komputer, barangkali suasana hati masih terbawa. Tetapi kalau bentuk tulisan sudah tercetak, akan sedikit berbeda. Siapkan spidol merah dan mulailah membaca setiap kata dan kalimat. Yang kira-kira tidak aktual, buang. Yang tanda bacanya masih salah, beri garis tebal. Yang masih bertebaran kata "berlemak", lingkari. Setengah jam saja memelototi karya itu, hakulyakin ada banyak coretan yang kita lakukan. Baca lagi, endapkan. Lalu buka kembali naskah di komputer. Swaediting lagi sesuai dengan hasil coretan. Barulah tuntas pekerjaan itu. Tulisan itu insya Allah khusnul khatimah. Segeralah dikirim supaya bersicepat dengan penulis lain. Langkah swaediting berlagak lakon sudah mampu kita jalani. Aman. Epilog Swaediting ini urgen buat tulisan yang mengutamakan aktualitas dan komprehensivitas. Dengan editing yang ketat, kita bisa fokus dalam menulis. Dengan penyuntingan model begini, artikel yang kita bikin akan lebih bernas, bermutu, dan ramping. Tidak ada lagi lemak dalam tulisan yang memberatkan konstruksi tulisan. Dan itu semua disebabkan swaediting. Ya, itu bikin tulisan kita makin ramping. Selamat menyunting!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline