Lihat ke Halaman Asli

Adian Saputra

TERVERIFIKASI

Jurnalis

Perceraian karena Tak Mau Berbagi

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_160235" align="aligncenter" width="640" caption="Wakil Gubernur DKI Jakarta, Prijanto saat jumpa pers tentang pernyataan kemunduran dirinya dari jabatan Wakil Gubernur, di kediamaanya kawasan Mega Kuningan, Jakarta, Minggu (25/12/2011)./Admin (KOMPAS.com/Banar Fil Ardhi)"][/caption] Pecah Kongsi Karena Tak Ada Kultur Berbagi Wakil Gubernur DKI Jakarta Prijanto mundur dari jabatan. Dalam kesempatan kepada media, ia mengatakan sudah niat mundur sejak dua tahun lalu. Namun, baru tahun ini ia menegaskan langkah mundur itu. Prijanto juga menegaskan mundurnya ia dari jabatan wakil gubernur sama sekali tidak terkait dengan agenda pemilihan gubernur DKI yang sebentar lagi diresepsikan. Media banyak melansir hampir 94 persen kepala daerah dan wakilnya pecah kongsi. Itu dipicu dengan banyak hal. Namun, kalau kita kaji, setidaknya ada beberapa penyebab. Pertama, regulasi yang sumir. Undang-Undang soal pemerintahan daerah memang tidak mengatur secara spesifik tugas wakil. Wakil memang ditempatkan untuk membantu kepala daerah dalam menjalankan pemerintahan. Ia juga bisa melakukan sesuatu berdasar instruksi kepala daerah. Tanpa itu ia tak punya otoritas apa-apa. Regulasi soal wakil ini sebetulnya bisa direvisi dengan menjelaskan beberapa fungsi dalam pemerintahan. Misalnya satuan kerja tertentu berada dalam komando wakil kepala daerah. Akan tetapi, secara keseluruhan, kepala daerah tetap memegang komando kunci. Akan tetapi, dengan dibuatnya wewenang yang langsung dipegang wakil, berarti kepala daerah mendistribusikan sebagian kecil otoritasnya kepada wakil. Secara psikologis, ini akan memberikan dampak kekuatan moral buat wakil kepala daerah. Ia akan menjadi punya power yang memungkinkannya membantu sang leader secara lebih optimal. Kita memang butuh payung hukum semacam itu agar kelak tak ada lagi disharmoni. Kalau sekiranya dengan tugas dan tanggung jawab yang jelas si wakil masih macam-macam, berarti memang bermasalah secara personal. Kedua, tak sadar posisi. Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef pernah menulis di Kompas soal filosofi wakil ini. Ia berpendapat posisi wakil memang pilihan kepala daerah atau presiden. Posisi wakil memang berbeda dengan kepala daerah atau pimpinan negara. Namanya saja wakil. Pasti orang kedua. Kalau presiden berhalangan, wakil yang menggantikan. Istilah "ekstremnya" ban serep. Cuma, memang itulah filosofinya. Posisi wakil memang membantu. Dan ia bertugas ketika ada wewenang yang dilimpahkan kepadanya. Posisi wakil adalah hak presiden atau kepala daerah yang akan maju dalam pencalonan. Sekiranya mereka yang ditempatkan pada posisi wakil sadar posisi, disharmoni tak bakal terjadi. Taruhlah misalnya ia tak mendapat jatah apa-apa dalam pemerintahan, menjadi wakil sudah cukup buat dia. Nanti, andai ia mau maju dalam periode berikutnya sebagai kepala daerah, tinggal maju saja. Tapi, kelarkan dulu masa jabatan. Itu baru tanggung jawab namanya. Sikap Dicky Chandra yang mundur dari posisi wakil bupati Garut dan Prijanto dari kursi wakil gubernur DKI Jakarta memang pilihan pribadi. Tapi, apakah setiap tak ada kecocokan selalu diakhiri dengan perceraian? Tidakkah ada mediasi dan lobi lagi agar duet itu bisa langgeng sampai ujung masa bakti? Apakah dengan mundur bakal memecahkan masalah yang selama ini terjadi? Bukankah ada komunikasi dalam entitas politik kita? Yang pasti, setiap mereka yang menjadi wakil, mesti tahu diri. Orang pertama memang beda dengan orang kedua. Tak boleh ada dua jenderal dalam satu komando pasukan perang. Tapi sang jenderal juga bisa sukses karena ditopang wakil yang cakap, dan yang pasti tidak meninggalkan gelanggang saat pertarungan berlangsung. Ketiga, etika politik tak berbasis kultur. Komitmen yang dibangun sebelum pencalonan antara kandidat kepala dan wakil kepala daerah pasti ada. Mereka juga berkeinginan agar bisa maju berdua dan menang bersama serta menghabiskan seluruh masa bakti secara baik. Itu komitmen dan rakyat memilih karena itu. Budaya mundur itu bagus jika tugas tak mampu diselesaikan dengan baik. Di Jepang, hampir setiap menteri yang terindikasi suap atau korup, pasti mundur. Dengan kesadaran tentunya. Di Brasil, sejumlah menteri juga mundur yang dipicu skandal korupsi. Bagaimana di Indonesia? Indonesia rupanya tak mengenal etika politik semacam itu. Berkali-kali kecelakaan kapal laut, pesawat terbang, dan kereta api, tetapi tak satu pun menteri perhubungan yang mundur selama sejarah bangsa ini. Sudah terindikasi menerima suap pun, pejabat negara kita malah membantah. Itu semua disebabkan etika politik kita yang rendah. Fatsun kita tak dibangun dengan kultur. Kultur kita rupanya masih lemah merasuk ke dalam aktivitas politik sehingga abai terhadap moralitas. Pejabat kita tak malu kalau ada masalah di kementerian yang mereka pimpin. Petinggi militer kita pun tak malu kalau ada anggotanya yang berbuat salah yang fatal. Tak ada kamus mundur buat mereka. Dalam ranah tulisan ini, kultur untuk bersinergi dalam politik juga rendah. Maka itu, sedikit saja ada masalah, kepala dan wakilnya segera bercerai. Ada yang langsung mundur dari jabatan, tetapi mayoritas memilih bertahan meski sudah tak dilibatkan lagi. Para wakil kemudian punya mainan baru jika berhasil mengambil kursi ketua partai di daerahnya. Kultur itu juga tidak ada di kepala daerah sehingga selalu muncur kecurigaan bahwa wakilnya bakal menelikung. Maka itu, semua potensi ke arah kompetisi untuk periode berikutnya ditutup rapat. Sampai melantik kepala desa saja mesti bupati karena khawatir jika wakil yang melantik bakal dijadikan ajang kampanye pribadi. Keempat, tak mau berbagi. Perhatikan pemerintahan kita era 2004-2009 saat Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla. Meski tak ada di peta jalan secara tertulis, kedua pemimpin ini mampu membagi tugas dengan baik. Meski sempat menimbulkan konflik kecil sesaat menjelang Pemilihan Presiden, secara umum duet ini sukses. Jusuf Kalla juga mampu meredam gejolak saat harga bahan bakar minyak dinaikkan. Ia bisa menjadi bumper yang baik buat pemerintahan kala itu. Pengamat politik Universitas Lampung Arizka Warganegara mengatakan saat itu Presiden SBY dan Wapres Jusuf Kalla mampu menjalankan pembagian peran sampai ke tingkat yang teknis. Pembagian semacam ini membuat Wapres tetap punya tugas yang jelas dan tak sekadar ban serep. Ia tahu posisinya sebagai wakil tapi adanya sedikit otoritas membuat potensinya juga tersalurkan buat kemaslahatan bangsa. Di sini kuncinya ialah Presiden mau membagi wewenangnya kepada Wapres tanpa takut kehilangan wibawa sebagai kepala negara. Toh meskipun Jusuf Kalla maju ke ajang Pilpres, tetap SBY pemenangnya. Jika bupati atau walikota mau meniru cara ini, membagi peran sesuai dengan kesepakatan personal, disharmoni bisa diantisipasi. Wakil akan merasa dihargai karena ia punya peran dalam pemerintahan. Ia juga bakal salut dengan kompatriotnya karena mau membagi sedikit kepercayaan kepadanya. Kuncinya ialah berbagi. Tanpa berbagi dan semua "dimakan sendiri", disharmoni akan terjadi.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline