Lihat ke Halaman Asli

Adian Saputra

TERVERIFIKASI

Jurnalis

Resensi Bukan Sekadar Promosi

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa kali mengisi kelas menulis resensi, ada satu hal yang sering saya tekankan. Dalam meresensi, upayakan semaksimal mungkin memberi kritik terhadap buku yang sedang dibahas. Dahulu, saya tidak menekankan hal ini. Namun, dari beragam pengalaman, termasuk mengikuti beberapa kali lomba menulis resensi, poin soal kritik ini saya pentingkan. Memang benar, meresensi itu artinya menilai buku dari banyak sudut pandang. Yang lazim dilakukan penulis ialah menceritakan ulang isi buku dengan gaya bahasa sendiri. Kita sering menyebutnya meresume. Kira-kira demikianlah adanya.

Namun, menulis resensi ternyata tidak sekadar menceritakan ulang isi buku. Kita dituntut memberikan kritik terhadap isi buku itu. Setidak-tidaknya, menganalisis isi buku dengan ide dan pikiran sendiri. Ketika menyebutkan soal kritik ini, beberapa teman bertanya, apakah tidak salah hal yang demikian. Mungkin ada kekhawatiran resensi kita itu malah tidak dimuat lantaran sarat kritik. Akan tetapi, kekhawatiran itu tidak mesti dijadikan momok.

Sebagian kawan beranggapan, membikin resensi itu artinya mempromosikan isi buku. Saat sebuah resensi dimuat di koran, majalah, atau blog, banyak orang yang membaca. Boleh jadi, di antara pembaca itu ada yang tertarik untuk membelinya. Kalau ada ribuan orang yang membaca resensi itu, peluang buku yang dijadikan objek resensi itu dibeli orang, juga semakin besar. Dengan begitu, masuk akal dan klop jika disebut resensi itu sama dengan mempromosikan buku.

Untuk skop media massa, beberapa redaktur yang mengelola rubrik resensi ini punya aturan main sendiri. Saya mau bercerita sedikit soal ini. Begini ceritanya. Sekitar sembilan bulan lalu saya menulis resensi buku "Menulis Sosok". Resensi itu saya kirim ke Kompas. Penulis buku itu, Pepih Nugraha, juga saya kabari. Tapi saya tak bermaksud mengintervensi Pepih agar ia bilang kepada redaktur resensi Kompas agar tulisan itu dimuat. Tidak sama sekali.

Empat bulan, tak ada surat elektronik yang mengabarkan nasib resensi itu. Dari Kompasianer Emanuel Dapa Loka, saya dapat info, biasanya, empat bulan setelah resensi dikirim, ada surat jawaban. Isinya cuma dua: bisa dimuat, bisa juga tidak. Saya menunggu saja. Enam bulan, surat penolakan tak kunjung saya terima. Saya kontak Pepih, untuk izin memposting resensi itu di Kompasiana. Pepih bilang, tunggulah sampai delapan bulan. Dia mengatakan, rentang delapan bulan adalah hal biasa sebuah tulisan resensi masuk daftar tunggu untuk dimuat di Kompas Minggu. Saya bersabar lagi.

Namun, kesabaran saya habis pekan ini. Saya kembali hubungi Pepih. Bidan Kompasiana ini menganjurkan saya bertanya langsung kepada redaktur resensi Kompas Minggu. Namanya Ria Purwiati Lintang. Pepih memberikan nomor telepon yang bisa saya hubungi. Saya kemudian menelepon nomor Kompas itu. Untunglah, saat dioper oleh operator ke nomor ekstensi Ria, yang bersangkutan langsung terhubung. Saya kemudian memperkenalkan diri dan menanyakan nasib tulisan itu. Ria kaget juga begitu tahu naskah itu tertahan sembilan bulan dan tak ada kabar via surat elektronik. Dia kemudian mencatat nomor ponsel saya dan berjanji akan menghubungi. Dia akan cek lagi naskah itu. Tapi saya sudah yakin, naskah itu tidak layak muat. Saat saya beri tahu judul resensi itu, "Menikmati Kegenitan Seorang Pepih", dia tergelak. "Senyatanya Pepih memang memang genit,hahaha." Saya ikut tertawa juga mendengar respons redaktur resensi Kompas Minggu itu. Dalam hati, nyambung juga dengan judul saya. Duh, punten, hampura kepada Kang Pepih, hehehe.

Sore hari, sebuah pesan singkat masuk ke ponsel saya. Dari Ria rupanya. Dalam pesan pendek itu ia menulis, resensi saya belum layak masuk Kompas Minggu. Kurang kritis, kata dia. Penasaran, saya meneleponnya. Dengan sopan saya meminta tips dari dia agar resensi punya kans dimuat. Syukurnya Ria redaktur yang ramah. Dengan lugas, ringkas, dan mudah dicerna, ia menjelaskan. Intinya, resensi itu bukan sekadar menceritakan ulang isi buku. Namun, mesti mendedahkan, mengkritik, dan memaknainya. Kalaupun mengkritik, tidak sekadar dari sisi bahasa, tampilan cover, jenis huruf dan sebagainya. Saya memaknainya bahwa resensi itu mesti punya daya kritik dan tajam dalam analisis.

Saat menulis resensi buku "Menulis Sosok" karya Pepih Nugraha sembilan bulan lalu, karya resensi saya tergolong biasa saja. Maksudnya, seperti yang Ria duga, tulisan saya masih sebatas menceritakan ulang isi buku, ditambah sedikit plus-minusnya. Hampir belum sampai pada maqam menulis dengan sarat kritik dan tajam dalam analisis. Termasuk saat menulis resensi buku "Menulis Sosok", cerita yang saya bangun hampir tidak ada kritik. Isinya puja dan puji. Sekadar menceritakan ulang.

Secara tidak sengaja, dan entah darimana idenya, karya resensi saya setelah artikel ihwal buku Pepih itu, justru bermetamorfosis. Resensi yang saya bikin, sepertiganya sarat dengan analisis dan kritik. Setiap mengikuti lomba menulis resensi setengah tahun belakangan, saya berupaya mencari benang merah dari keseluruhan isi buku, kemudian menceritakan secara ringkas, dan memberikan analisis, pemaknaan, serta memberikan kritik yang saya upayakan setajam mungkin. Barangkali, karya resensi saya tentang novel "Rantau 1 Muara" karya A Fuadi berjudul "Romansa dari Ruang Media Massa", cukup mewakili karya pribadi saya yang lumayan dengan kritik. Dan secara tidak sengaja, karya itu menjadi pemenang utama lomba resensi yang diadakan Kompasiana. Ada tiga pemenang saat itu. Selain saya, ada I Ketut Suweca dan Selamet Hariadi. Kami bertiga diganjar voucer belanja buku di Gramedia senilai satu juta rupiah. Ahamdulillah. Lumayan.

Yang mutakhir, resensi saya tentang buku "Jokowi Bukan untuk Presiden" juga menjadi satu dari tiga pemenang utama. Kali ini, dua Kompasianer lain yang juga menjadi pemenang utama adalah Hendra Wardhana dan Fitri Haryanti. Kami juga diganjar voucer buku dari penerbit Elex Media Komputindo senilai satu juta rupiah. Namun, sampai tulisan ini diunggah, voucer belum kami terima. Semoga tak lama lagi.

Balik lagi ke tema tulisan. Saya memang tak ingat, kapan saya punya argumentasi bahwa resensi yang baik itu mesti kritis dalam memaknai sebuah buku. Tapi saya ingat, dalam dua sampai tiga bulan belakangan, saya acap mendengungkan soal kritis itu saat diminta memberikan materi penulisan resensi buku. Mungkin perjalanan waktu saja yang membuat saya memilki argumentasi itu. Makin mantap saat Ria Purwiati memberikan tips menulis resensi agar punya kans tembus Kompas Minggu. Dan jika dikomparasi beberapa karya resensi saya belakangan dengan resensi buku "Menulis Sosok", saya memang menemukan bedanya. Karya saya belakangan ini memang berupaya kritis terhadap konten buku yang diulas. Kritis itu bukan lantas menelanjangi habis-habisan ide dalam buku. Namun, memberikan perspektif yang berbeda dan berdasar atas buku yang diresensi. Mungkin awalnya sulit. Tapi lambat laun, metamorfosis ke arah sana--yang tentu lebih baik--akan terwujud.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline