Lihat ke Halaman Asli

Adian Saputra

TERVERIFIKASI

Jurnalis

Mengurangi Subsidi, Mengedukasi Anak Negeri

Diperbarui: 18 Juni 2015   00:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Harga elpiji ukuran 12 kg di pasaran sekarang mencapai Rp120 ribu. Pemerintah sudah menetapkan harga ecerannya Rp114 ribu. Namun, di Indonesia, tak pernah tercapai apa yang diinginkan pemerintah dengan realitas lapangan. Kenaikan itu sesaat sempat membuat warga panik. Masyarakat yang selama ini menggunakan elpiji 12 kg merasa berat kalau harga bahan bakar itu dinaikkan. Namun, pemerintah bergeming. Harga baru tetap diputuskan. Alhamdulillah tak ada gejolak berarti. Setidaknya, dari pemberitaan yang diwartakan media massa, tak ada kepanikan yang berlebihan.

Alasan Pertamina menaikkan ini memang bisa diterima secara hitungan matematika. Subsidi yang selama ini diberikan pemerintah kepada warga penikmat elpiji 12 kg dirasa memberatkan. Ketimbang saban tahun menanggung rugi triliunan rupiah, otoritas di negeri ini kemudian memutuskan hal yang tak populer: menaikkan harga.

Menaikkan harga, di mana pun berada, memang dilematis. Masyarakat tentu tidak berharap ada kenaikan. Sebab, kenaikan bahan bakar pasti diikuti dengan kenaikan harga bahan pokok lainnya. Bahkan, baru isu saja, harga sudah terkerek. Apalagi saat harga benar-benar dinaikkan.

Lantas, apa poin yang bisa ditarik dari penaikan harga elpiji 12 kg ini.

Pertama, menegaskan kesadaran bahan bakar terbatas. Dengan penaikan harga elpiji ini, masyarakat semakin mengerti bahwa energi ini memang terbatas. Energi yang terejawantahkan dalam elpiji tetaplah punya masa pakai yang terbatas. Memang jumlahnya diklaim banyak. Namun, pasti ada saat di mana energi dari bahan yang tak bisa diperbarui ini akan habis.

Maka itu, kesadaran rakyat mesti tetap dipelihara bahwa sumber energi yang tak bisa diperbarui, suatu saat akan habis. Bagaimana jika ini terjadi? Pilihan impor adalah yang paling mudah. Kita sudah melalui era bonanza emas di masa Orde Baru. Tak ada lagi yang mampu menjamin, sampai kapan ketersediaan energi buat seperempat lebih miliar penduduk Indonesia bisa diwujudkan.

Kedua, bijaklah menggunakan elpiji. Kenaikan harga elpiji juga memberikan kesadaran bahwa energi mesti digunakan sebijaksana mungkin. Dalam konteks elpiji, kita mesti menggunakan setiap hembusan gas elpiji dengan bijak. Pesannya, memasaklah makanan atau minuman yang memang benar-benar dibutuhkan. Makanan banyak yang dibikin di atas tungku elpiji namun tak habis dimakan, pasti mubazir. Mubazir tidak dalam konteks makanan atau minumannya saja, tapi juga elpiji yang digunakan. Ketimbang memasak banyak yang tak bakal habis dikonsumsi, lebih baik membeli yang siap makan dan habis.

Ketiga, warga kaya mesti mawas diri. Kalau ada warga yang berpendapatan cukup tinggi dan keberatan dengan kenaikan harga elpiji 12 kg, tentu tidak bijak. Dengan rumah yang besar, perabotan lengkap, masih bisa menabung sepertiga dari penghasilan, sungguh tak layak warga kaya protes dengan kenaikan ini. Mereka yang memiliki mobil beberapa buah tentu tak ada masalah dengan kebutuhan pokok mereka. Mau berapa pun kenaikan, tidak begitu signifikan buat mereka. Maka, terlalu cengeng dengan mengeluh mengapa ini naik, sudah tentu tidak patut.

Kenaikan ini sama saja seperti kenaikan harga BBM beberapa waktu lalu. Setiap mobil pribadi dan kantor tidak diperkenankan mengisi bensin bersubsidi. Mereka harus membayar lebih mahal ketimbang yang dikeluarkan orang miskin. Dan ini masuk akal. Mobil yang masih terkategori barang mewah mensyaratkan pemiliknya mempunya uang yang cukup untuk keseharian kendaraan.

Syukur-syukur jika pemerintah menyediakan moda transportasi yang nyaman dan terjangkau untuk masyarakat. Elpiji pun demikian. Dengan penaikan harga elpiji 12 kg, pemerintah ingin subsidi yang diberikan kepada khalayak tak mampu, sampai kepada sasaran. Memang sulit di lapangan mewujudkan misi itu. Ada saja masyarakat yang rela bermigrasi dalam penggunaan elpiji. Dari yang semula menggunakan elpiji 12 kg, sekarang beralih ke elpiji 3 kg. Namun, semangatnya mesti terus dijaga. Bahwa subsidi elpiji hanya untuk mereka yang terkategori miskin. Semakin banyak warga negara yang boleh menggunakan elpiji 3 kg, artinya negeri ini masih dilingkupi kemiskinan.

Keempat, yakinkan tak ada migrasi. Satu yang menjadi kekhawatiran pemerintah ialah migrasi pengguna elpiji 12 kg ke elpiji 3 kg. Kalau ini yang terjadi, sungguh merepotkan. Kebutuhan warga terhadap elpji 3 kg meningkat drastis. Dan ini sudah jelas mengganggu konstruksi produksi yang sudah ditetapkan Pertamina dan pemerintah. Maka itu, kewajiban pemerintah adalah menjaga seoptimal mungkin agar migrasi besar-besaran tidak terjadi.

Teknis paling kasatmata ialah pembeli elpiji dengan menggunakan mobil tidak diperkenankan di depot resmi. Pembatasan pembelian elpiji 3 kg yang hanya dua tabung bisa menjadi awal strategi agar pemerintah mampu menjamin tidak terjadi migrasi besar-besaran.

Harga elpiji 12 kg sudah naik. Tak mungkin dia turun. Bakal memberatkan APBN kalau sampai turun. Nah, karena kebijakan ini sudah ditelurkan, kita mesti pikirkan apa yang mesti dilakukan. Meski dalam konteks ini ditujukan kepada Pertamina dan pemerintah, sebagai warga negara, kita semestinya tetap punya peran.Lantas, apa yang bisa kita lakoni pascakebijakan ini diputuskan?

Pertama, mengantisipasi penimbunan.Ada banyak agen nakal. Mereka menahan produk tak keluar dipasarkan. Ketika kelangkaan, mereka melepasnya. Harganya tentu sangat mahal. Margin itulah yang membuat mereka kaya raya. Adanya disparitas mencolok antara harga elpiji 12 kg dan 3 kg, memungkinkan penimbunan. Maka itu, setiap warga hendaknya memberikan informasi kepada polisi jika ada indikasi penimbunan.

Kedua, tekan habis peluang korupsi. Sebagai BUMN yang menguasai energi di Indonesia, buat kebanyakan rakyat, rasanya tak masuk akal kalau Pertamina merugi hingga triliunan rupiah. Andaipun bisnis utama energi kepada bangsanya sendiri kemudian tiarap, varian produk Pertamina semestinya dijual ke pasar luar negeri. Mungkin ini sudah dimulai tapi belum optimal. Sebab itulah Pertamina dan pemangku kepentingan bidang energi wajib menekan semaksimal mungkin peluang korupsi.

Ketiga, tunjukkan kinerja maksimal. Kinerja Pertamina sebagai BUMN yang mengurusi hajat energi sudah selayaknya ditingkatkan. Kita ingin, gaji besar yang diperoleh jajaran elite Pertamina sebanding dengan kerja untuk rakyat. Maka, prestasi Pertamina pun ditunggu. Misalnya, dengan kemampuannya berbisnis energi dengan pihak lain yang ujungnya mendapat keuntungan.

Keempat, menjaga pasokan. Rakyat Indonesia sudah terlatih dalam hal menghadapi kenaikan harga bahan bakar, termasuk elpiji. Pendeknya, berapa pun harganya, pasti dibeli rakyat Indonesia. Meskipun elpiji 12 kg naik, sebetulnya tak ada masalah. Sebab, elpiji 12 kg lekat dengan orang berada.

Namun, yang menjadi persoalan ialah apakah pasokannya lancar atau tidak. Di media massa sering kita membaca ada banyak daerah yang kekurangan elpiji. Kalaupun ada, harganya mahal. Ini tentu mafia yang bermain. Maka itu, Pertamina wajib menjamin bahwa kenaikan harga elpiji 12 kg ini tidak bakal mengganggu pasokan selama ini.

Mau berapa pun harga, pasti dibeli rakyat Indonesia. Asal, barangnya ada. Tapi, jangan sampai, sudahlah harganya naik, barangnya pun langka di pasaran. Ini yang membuat rakyat susah.

*

Penaikan harga elpiji buat penulis dianggap sebagai sebuah pembelajaran untuk rakyat. Mengurangi subsidi lambat lain akan mengurangi beban negara. Namun, negara semestinya juga memberikan banyak inovasi kepada rakyat agar bisa bekerja. Seperti larik lagu Iwan Fals, “berikan kami pekerjaan”. Asal rakyat bekerja, pasti mereka mampu membeli kebutuhan pokok, termasuk elpiji.

Nah, sebagai sebuah edukasi soal energi, akan lebih baik jika negara bisa memberikan jaminan bahwa kenaikan ini adalah ikhtiar yang baik. Jangan lagi kita dengar korupsi kembali menjangkiti Pertamina dan kementerian yang mengurusi energi. Ini yang melukai rakyat. Pendeknya, mengurangi subsidi sama dan sebangun dengan mengedukasi anak negeri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline