Lihat ke Halaman Asli

Adian Saputra

TERVERIFIKASI

Jurnalis

Buku Agama dan Kolonialisasi Bahasa

Diperbarui: 17 Juni 2015   23:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi, Kurator (shutterstock)

[caption id="" align="aligncenter" width="648" caption="Ilustrasi, Kurator (shutterstock)"][/caption]

Bulan lalu seorang teman jurnalis, Nur Islam namanya, meminta saya menyunting bukunya. Nur Islam termasuk penulis produktif. Baik opini maupun buku. Buku pertamanya, “Shalat Panduan Berpolitik”, sudah terbit tahun lalu. Mantan anggota KPU Bandar Lampung ini juga piawai menulis opini. Ia sekarang jurnalis di Lampung TV.

Saat meminta saya, dia meminta beberapa hal. Antara lain, diksi “shalat” tetap dipertahankan. Ia tidak mau kata shalat diubah menjadi “salat” yang baku menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia. Saya menyanggupi. Satu minggu ia minta saya menyelesaikan penyuntingan. Saat ia tanya berapa mesti memberikan honor, saya tepuk pundaknya. Saya bilang, “Kita selesaikan saja editingnya dulu, Mas. Saya ikut saja. Asal manusiawi, saya terima dengan baik. Kita cari barokahnya.” Lagi pula, buat saya, kalau ada teman mau menulis buku, itu sebuah kegembiraan. Berarti bakal lahir karya intelektual yang menambah khazanah perbukuan di Lampung.

Besok hari, saya mulai mengedit. Ada banyak diksi “shalat” yang saya pertahankan. Meski dalam kamus ditulis “salat”, kami sepakat mempertahankan. Namun, beberapa diksi lain, saya sesuaikan dengan kamus. Misalnya, istikamah untuk mengganti istiqamah, Hadis untuk Hadits, ikamah untuk iqamah, dan sebagainya. Judul bukunya “Menyesal Tak Shalat Berjamaah”. Lema “berjamaah” juga semestinya bisa diganti dengan yang “berjemaah”.

Usai satu pekan, tugas saya selesaikan. Naskah saya kirim kembali ke Nur Islam via surat elektronik. Beberapa kemudian saya bertemu dengan dia. Kami mengobrol ringan-ringan serius. Dia minta maaf, beberapa diksi yang saya ubah sesuai dengan kamus, diubah lagi. Misalnya, hadis menjadi hadits, istikamah menjadi istiqamah, ikamah menjadi iqamah. “Saya enggak tega Mas kalau kata-kata itu berubah arti jika diindonesiakan.” Saya manggut dan mencoba menjawab setahu yang saya tahu.

Intinya, menurut dia, ada kesan kolonialisasi bahasa dalam pengindonesiaan kata yang berasal dari bahasa Arab. Menurut Cak Nur, semestinya pengolah bahasa memperhatikan setiap arti dalam bahasa Arab. Dari situ kemudian ditranliterasikan ke dalam bahasa Indonesia.

Saya tidak sepenuhnya sependapat. Tugas para ahli bahasa yang produknya berupa kamus pasti punya panduan mengindonesiakan kata dalam bahasa Arab. Memang, kalau membaca hasil transliterasinya, ada beberapa yang janggal. Ambil contoh “jumrah”. Di kamus, diksi untuk batu yang dipakai melontar ini namanya berubah menjadi “jamrah”. Meski demikian, hampir semua koran nasional tetap mempertahankan jumrah, tidak jamrah. Aneh juga kalau semua orang sedunia melafalkannya dengan jumrah, tapi kamus malah mengubahnya menjadi jamrah. Mungkin ada ilmu mengindonesiakan kata dalam bahasa Arab yang kurang saya pahami. Namun, soal kelaziman, semestinya juga dipertimbangkan. Dalam bahasa Indonesia, trenggiling itu bentuk bakunya malah “tenggiling”. Ini juga kurang enak didengar menurut saya. Hampir semua buku ilmu pengetahuan menulis trenggiling, kok kamus malah menjadi tenggiling.

Kata “marwah” yang artinya kehormatan juga di kamus bentuk bakunya malah “muruah”. Ini sih masih dekat-dekatlah, agak mirip. Cuma, masih enak melisankannya dengan marwah ketimbang muruah. Untung saja Alquran masih ditulis begitu, bukan “Alkoran”. Sebab, koran kan diambil dari bahasa Arab yang artinya bacaan. Kalau mu seragam, dibikin saja “Alkuran”.

Kamus memang memandu. Ia menjadi bahasa rujukan untuk kita yang mau tertib berbahasa, lisan maupun tulisan. Namun, hendaknya, kelaziman dalam penggunaan dimasyarakat semestinya dijadikan panduan. Masak iya, sudah jelas-jelas orang seindonesia tahu kedai khas orang Medan itu “lapo”, mengapa di kamus menjadi “lepau”.

Sebetulnya, tidak semua media secara bulat-bulat menggunakan banyak diksi di dalam kamus. Dalam konteks bahasa Arab, banyak media yang tetap mempertahankan aslinya. Kompas misalnya, masih menuliskan “Ramadhan” ketimbang Ramadan, “Silaturahim” ketimbang silaturahmi, “shalat” daripada salat.

Kalau untuk media, selain soal baku atau tidaknya, soal selera kadang juga dipertimbangkan. Divisi Bahasa pasti punya alasan untuk mempertahankan diksi itu yang lebih sesuai dengan kaidah bahasa aslinya. Meski demikian, penyusun kamus pun barangkali punya alasan mengapa diksi-diksi itu mengalami perubahan.

Ada baiknya, sebelum mengondonesiakan kata, para penyusun mesti mencoba merasakan apakah kata ini akan diterima dengan baik atau tidak. Jangan sampai, kata baru dibentuk, tapi tidak populer. Ketimbang sibuk mengindonesiakan banyak lema dari bahasa Arab yang artinya malah jauh, lebih baik menggali kosakata khas Indonesia. Kompas dan Koran Tempo menurut penulis cukup sukses. Ada kata “gawai” sebagai sinonim untuk “gadget”. Ada “gendam” sebagai varian hipnotis. Ada “petahana” untuk mempadankan dengan “incumbent”.

Karena banyaknya kata dalam bahasa Arab yang setelah diindonesiakan malah “aneh”, wajar ada opini skeptis soal ini. Saya kira wajar kalau kemudian orang yang mengerti bahasa Arab bilang aneh soal kamus. Kalau mau mengartikan “hati” yang dimaksud dalam bahasa Arab, semestinya ditulisnya “qolbu” atau minimal “qalbu”. Namun, jika “kalbu”, itu “bermasalah” dalam bahasa Arab. Kata yang paham, kalbu dalam bahasa Arab artinya “anjing”. Waduh, bagaimana ini?

Memang bahasa Arab ini unik. Lantaran ada huruf hijaiyah yang membentuknyam proses pengindonesiaan pun menjadi kurang lentur. Entah mengapa, banyak diksi bahasa Arab yang dilafal kita menggunakan huruf “o”, malah diganti “a”. Lafal seharusnya “Alloh”, namun menjadi “Allah”, “istiqomah” kemudian berubah menjadi “istikamah”, “iqomah” menjadi ikamah, dan sebagainya.

Memang penulis pernah membaca, lafal “o” dalam bahasa Arab menjadi “a” ke dalam bahasa Indonesia. Jika ini yang menjadi panduan, kasihan sekali huruf “O” yang perannya menjadi minimal. Barangkali kalau huruf “O” bisa bicara, dia akan bilang, “Ketimbang saya jarang dipakai, hapus saja saya dari deretan huruf”, hahaha.

Nur Islam meyakini, proses transliterasi bahasa Arab ke Indonesia ini ada kesan memarginalkan bahasa Arab. Sebagai dosen di IAIN Raden Intan, Nur Islam barangkali punya alat analisis soal ini. Namun, menurut saya, yang lebih penting itu ialah mencoba membuka kembali kesepakatan soal transliterasi bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia. Masak iya, semua yang terdengar “O” dalam bahasa Arab, mau dipaksakan dengan huruf “A”. “Qodar” tidak kita kenal di kamus, adanya qadar. Ini juga aneh. Mengapa tidak sekalian menjadi “kadar”. Soal bahwa “kadar” itu punya makna lain, saya kira itu wajar. Ada beberapa kata yang sama namun artinya berbeda, dilihat dari konteks dan tempat. Suatu kata yang wajar menurut kita di sini, belum tentu wajar di belahan Indonesia lainnya.

Diksi “makam” misalnya. Kalau untuk lokasi perkuburan sih, orang mahfum soal makam. Tapi untuk menunjukan derajat tertentu, kita kan sering menyebutnya dengan “maqom” atau “maqam”. Misalnya dalam kalimat, “Elu sih belum maqamnya ada di jajaran menteri.” Maksudnya, kelas kita itu belum pantas masuk jajaran menteri.

Menyigi soal kebahasaan ini memang menarik. Apalagi kita punya media yang konon bahasayang digunakan menjadi edukasi untuk anak negeri. Pendeknya, orang lebih kenal istilah atau kata dalam bahasa Indonesia lewat media massa ketimbang membuka kamus bahasa.

Media yang tetap mempertahankan “shalat”, “silaturahim”, “Ramadhan” pasti punya alasan, sehingga mereka tak menggunakan diksi yang sudah dijilid di dalam kamus. Bahasa memang lentur. Apalagi bahasa Indonesia kita yang banyak asalnya dari serapan. Namun, khusus untuk bahasa Arab, saya pikir perlu ada kekhususan. Sehingga, saat sebuah kata yang jamak dipakai kemudian diindonesiakan, tidak menjadi polemik lagi. Bahkan, ada yang menilainya sebagai bentuk penjajahan bahasa alias kolonialisasi bahasa. Mungkin berlebihan, tapi ini bisa menjadi bahan pikir kita bersama. Bagaimana para ahli bahasa. “Maqam” Anda dalam dunia kebahasaan banyak diperbincangkan. Jangan sampai gara-gara “shalat” kita tidak seragam. Dan tak usah juga menunggu “Ramadhan” tahun depan untuk memperbicangkan hal ini. Wallahualam bissawab.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline