[caption id="attachment_347048" align="aligncenter" width="300" caption="Ponita Dewi ketika mempresentasikan konsep "][/caption]
Pesawat Sriwijaya Air itu mendarat mulus di Bandara Soekarno-Hatta, 7 Juni 2013. Usai pintu pesawat terbuka, ratusan penumpang turun teratur. Satu di antaranya Ponita Dewi. Duta Genre asal Lampung ini tampak anggun dengan balutan busana muslimah nan sederhana.
Selain membawa koper kecil berisi pakaian, perempuan asli Lampung ini juga membawa gamolan pekhing, alat musik khas orang Lampung. Bentuknya seperti kulintang kecil. Terbuat dari bambu yang mulus dipelitur. Satu demi satu anak tangga pesawat ia jejak dengan hati-hati. Utusan Lampung ini bersiap mengikuti kompetisi untuk mencari Duta Genre Nasional Tahun 2013. Ia bakal bersaing dengan puluhan utusan dari provinsi lain.
Tubuh Po, demikian ia biasa disapa, relatif mungil. Tingginya cukup di kisaran 150 centimeter. Berat tubuhnya 45 kilogram. Jika dibandingkan dengan peserta lain, tubuh Po memang mungil. Teramat mungil bahkan. Sejak ia jejak landasan bandara terkenal itu, ia berusaha serius tapi santai. Ia yakin, apa yang bakal ia lakukan selama sepekan masa kompetisi, akan dinilai oleh dewan juri. Meski begitu, ia berusaha rileks. Sebab, kesantunan dan kecerdasan memang sudah ia bawa jauh-jauh hari. Bukan lantaran akan berkompetisi, ia seolah-olah jaim atau jaga image.
Sesampainya di tempat kompetisi, Hotel Putri Duyung, Ancol, ia diterima oleh panitia. Kemudian ia ditempatkan di sebuah kamar. Po tidak sendirian di kamar itu. Ia bersama peserta lain dari Maluku Utara dan Sumatera Utara. Mereka berkenalan. Mereka saling menghargai meski berada dalam ranah kompetisi. Selama tujuh hari mereka akan mengikuti pembekalan dan puncaknya pemilihan Duta Genre Nasional 2013.
Ada banyak materi yang Po dan teman-temannya dapatkan selama masa “karantina” itu. Dan satu yang menarik buat Po ialah materi public speaking. Yang membuat Po suka, presenter MetroTV, Aviani Malik, didapuk untuk memberikan materi ini. Po tentu senang. Ia begitu antusias. Acara materi dimulai. Sebelum memberikan materi, Po memulakan dengan bertanya. Kata dia kepada Aviani, bagaimana sih cara yang oke dalam memberikan presentasi sehingga semua khalayak memberikan perhatian. Aviani tersenyum mendengar pertanyaan muli (gadis) asal Lampung ini.
“Kalau begitu, kita mulai saja dari Ponita. Bagaimana kalau sekarang Ponita presentasi di depan, nanti kita komentari sama-sama. Waktunya tiga menit.”
Ponita terkesiap. Ia tak menyangka, pertanyaan itu malah berbuah tugas perdana untuknya. Namun, Po yakin, itu ujian pertama buat dirinya. Maka, dengan percaya diri, honorer di Pemerintah Kabupaten Way Kanan, Lampung itu mulai beraksi. Ia menjelaskan soal Genre, KB, kependudukan, dan pendewasaan usia perkawinan dengan lugas, jelas, dan trengginas. Waktu tiga menit ia manfaatkan seoptimal mungkin. Tak lupa, ia selipkan kultur dan budaya Lampung yang merupakan khazanah kekayaan budaya nasional.
Hadirin terkesiap. Termasuk peserta lain dari provinsi seantero Indonesia. Aviani senyum melihat cara Po melakukan presentasi. Mata hadirin seolah tak pupus menatap. Semua memberikan respons positif. Mereka menyimak dengan baik apa yang disampaikan duta asal Lampung itu. Genap tiga menit, Po mengakhiri presentasinya. Semua yang berada di ruangan hening. Seolah tak percaya yang menyampaikan itu salah satu kandidat Duta Genre Tingkat Nasional 2013.
“Hei, kok hening semua. Kagum ya sama Po. Selamat ya Po, presentasi kamu bagus sekali. Saya tak ada komentar lain.” Ucapan yang mengalir dari bibir manis presenter cantik itu tentu saja membungahkan hati Po. Tapi, ia tak mau jumawa. Ia yakin, peserta lain juga bisa presentasi seperti dirinya.
Namun, respons Aviani tadi makin meyakinkan tekadnya, bahwa ia mesti meraih hasil terbaik di ajang ini. Ia pun selalu serius menyimak setiap pemateri yang dihadirkan panitia. Termasuk penjelasan soal kesehatan reproduksi oleh dokter cantik Sonia Wibisono, materi kepribadian oleh artis cantik Keke Harun, dan materi kependudukan oleh Sudibyo Alimoeso.
Hari demi hari dilalui gadis cantik ini dengan baik. Semua materi ia serap dengan baik. Yang tidak dimengerti, disimak sampai tuntas. Apa yang mau ditanyakan, tak ragu ia lontarkan. Bukan mengetes atau menguji si penyaji, namun benar-benar ingin penjelasan yang komprehensif.
Di sela-sela waktu istirahat, ia gunakan untuk menerampilkan bermain alat musik khas Lampung: gamolan pekhing atau biasa juga disebut cetik. Alat musik ketuk ini terbuat dari bambu. Tapi alat musik ini tak lazim. Ia tidak diatonis atau genap dari do sampai do lagi. Nada “la” tidak dikenal dalam alat musik ini. Karena hanya tujuh, alat musik ini digolongkan pentatonis. Po sudah mahir memainkan alat musik ini sejak ia mempersiapkan diri menjadi Duta Genre Provinsi Lampung beberapa bulan sebelumnya.
[caption id="attachment_347051" align="alignleft" width="300" caption="Ponita dengan alat musik khas Lampung, gamolan pekhing"]
[/caption]
Dari peserta lain pun ia mencoba menyerap ilmu. Baginya, masa tujuh hari itu adalah masa belajar. Ya dari penyaji, juga dari peserta lain. Po tidak semata-mata memandang mereka sebagai pesaing. Baginya semua sama. Sama-sama Duta Genre atau Generasi Berencana yang punya tugas mensosialisasikan KB, pembangunan keluarga, kependudukan, HIV/AIDS, sampai penghindaran nikah dini kepada semua remaja di Indonesia.
Duta Genre dinilai memungkinkan sebagai sarana efektif menjelaskan soal KB dan hal yang berkenaan dengan itu kepada remaja Indonesia. Sebab, remaja Indonesia adalah objek terbesar dalam ranah keluarga Indonesia. Dari jutaan remaja Indonesia-lah, masa depan negara ini terletak. Jika semua remaja mampu memahami dengan baik pendewasaan usia pernikahan, mutu keluarga yang dihasilkan akan lebih baik.
Setiap peserta diminta merumuskan hal yang akan disampaikan. Po juga mempersiapkan dengan baik. Ia membawa konsep “pupus rindu”. Maknanya, pendewasaan usia pernikahan untuk seluruh remaja Indonesia. Po mengonsepnya dengan baik.
Buat Po, pendewasaan usia pernikahan ini penting. Sebab, inilah “teori” yang akan menjadi dasar pijakan pasangan yang akan menikah. Ketimbang memaksakan pernikahan dini, Po lebih memilih agar setiap remaja Indonesia matang dulu usia pernikahan. Sebab, dengan kematangan usia, pemahaman, dan mata pencarian, kans untuk menjadi keluarga yang baik pasti lebih mudah diwujudkan.
Po tidak menampik, ada saja keluarga yang gagal lantaran bercerai meski usia pernikahan mereka termasuk matang. Buat Po, ini tantangan. Boleh jadi, usia pernikahan yang matang, tak diimbangi dengan skill ketika berumah tangga. Maka itu, selain membawa konsep pendewasaan usia perkawinan, Po ingin setiap remaja Indonesia punya kemampuan memadai saat berumah tangga. Remaja, dalam konsep Po, mesti tahu hak dan kewajiban suami istri, cara mendidik anak, cara bekerja dengan baik tanpa menelantarkan anak, dan sebagainya. Pokoknya, sebagai sebuah konsep, “pupus rindu” yang diusungnya bisa diejawantahkan dengan baik.
Malam puncak pun datang. Hadirin yang datang jumlahnya bukan alang kepalang. Ramai sekali. Po mencoba tampil meyakinkan. Saat memberikan presentasi “pupus rindu”, ia mampu membuat dewan juri yakin dengan konsep yang ia tawarkan. Tegasnya, jika ingin keluarga Indonesia mapan, pendewasaan usia perkawinan mesti dijalankan terlebih dahulu.
Po tak semata-mata memberikan jawaban yang sekadar lugas dan cerdas. Ia juga berupaya memadukan konsep itu dengan kultur dan budaya Lampung. Maka, saat diminta unjuk kebolehan, mahasiswi Universitas Muhammadiyah Lampung ini memainkan alat musik gamolan pekhing.
Ia ketuk satu per satu bambu yang sudah dibuat sedemikian rupa itu. Nadanya ia mainkan dengan teratur. Lagu khas Lampung ia mainkan dengan apik. Balutan busana Lampung dan alat musik sarat budaya ini menemukan konstruksi yang mengagumkan. Usai memainkan gamolan, tepuk tangan riuh rendah ia terima. Po menangkupkan tangan tanda bersahaja. Ia tak mau jumawa. Yang penting, ia sudah membuktikan kalau ia bisa. Soal apakah tahun 2013 itu gelar Duta Genre Nasional bisa ia sandang, tak menjadi persoalan.
Mungkin, itulah qadar Allah. Penampilan yang prima, pemahaman konsep yang utuh, pembawaan budaya yang mengesankan, dan cara bertutur kata yang menarik, akhirnya meluluhkan hati juri. Po didaulat menang. Ia ditahbiskan menjadi sang kampiun. Gelar yang memang ia idam-idamkan jatuh ke pelukan. Po menahan haru. Air matanya jatuh satu per satu. Ucapan selamat berdatangan dari segala penjuru. Musik dan kilatan cahaya blitz dan lampu menjadi harmoni yang syahdu dan mendayu.
“Saya tidak memandang gelar ini sebagai penghargaan begitu saja. Namun, saya dituntut untuk bertanggung jawab dengan gelar ini. Saya ingin semua generasi muda Indonesia memahami dengan baik hakikat keluarga berencana dan pendewasaan usia perkawinan. Buat saya, inilah ikhtiar terbaik agar Indonesia tumbuh dengan penduduk yang proporsional dan sejahtera. Dan Duta Genre adalah upaya terbaik untuk menjelaskan poin-poin penting keluarga berencana kepada semua remaja Indonesia,” kata dia kepada saya beberapa waktu lalu.
[caption id="attachment_347052" align="alignright" width="300" caption="Ponita Dewi, Duta Genre Nasional 2013"]
[/caption]
Setahun sudah Po bertugas sebagai duta nasional Genre. Tahun ini gelar sudah diserahkan kepada penerusnya. Ia yakin, keluarga Indonesia makin berkualitas dengan makin bermutunya kinerja para Duta Genre Indonesia. Sebab, kata Po, semakin banyak remaja yang paham, akan semakin baik mutu keluarga berencana di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H