Kegiatan Pekan Olahraga dan Seni (Porseni) Tingkat Kota Bandar Lampung tahun 1997 itu sudah di depan mata. Seumur bersekolah sejak SMP dan SMA, belum pernah satu kali pun saya merasakan kompetisi dalam olahraga lari atau maraton. Padahal, berlari saban pagi acap saya lakukan sejak kelas I SMP. Bagi saya, berlari pagi, santai ataupun dengan speed agak cepat, merupakan keasyikan tersendiri. Rasanya, kalau sudah mengelilingi sepuluh kali lapangan sepak bola di Stadion Pahoman, Bandar Lampung, ada kepuasaan tersendiri.
Niat untuk masuk dalam utusan sekolah yang kemudian menjadi utusan kecamatan di Porseni Bandar Lampung itu pun tertanam di dalam benak. Saya mesti menjadi satu dari sekian atlet yang dikirim ke Porseni. Rekam jejak saya di lari memang tak banyak diketahui orang. Guru olahraga pun tahunya saya aktif di organisasi OSIS dengan jabatan mentereng: ketua umum.
Paling-paling, soal olahraga, banyak yang tahu saya gandrung menjadi kiper. Kebetulan, pada Porseni itu, tim sepak bola kami, SMAN 2 Tanjungkarang, yang mewakili Kecamatan Tanjungkarang Pusat. Lantaran posisi kiper tak terlalu banyak yang meminati, saya akhirnya masuk 22 personel untuk cabang sepak bola.
Tapi, saya tetap mau berlatih dan masuk ke dalam tim lari. Asa itu terbuka saat guru olahraga kami, Pak Bambang namanya, akan mengadakan tes untuk mencari satu hingga dua pelari mewakili sekolah. Namun, alat ukurnya lumayan berat. Target mengitari halaman sekolah yang setengah lapangan sepak bola dengan deadline di bawah 10 menit adalah ujian awal. Siapa yang mampu mencapai limit itu, ada kans dia diikutsertakan. Target yang berat.
Karena kami kelas III, jam olahraga sebetulnya tidak ada lagi lantaran fokus kami di Ebtanas. Namun, sekolah tetap memberikan kesempatan untuk kami yang ingin berkontribusi membawa nama baik sekolah di banyak ajang, baik akademik maupun olahraga. Dan jadwal untuk kelas kami ketika itu hari Senin jam enam pagi. Kami menyebutnya “jam ke nol”. Sebab, jadwal ini di luar jadwal resmi sekolah, pukul 07.30.
Selain di OSIS, waktu itu saya pun sering mengikuti kegiatan kerohanian dalam organisasi Rohis. Hanya sebagai anggota. Buat saya, mengikuti ajang pengajian adalah penting untuk menambah ilmu dalam agama. Yang saya suka, para tutor yang merupakan alumni sekolah, banyak yang kuliah di kampus mentereng di kota kami. Selain ilmu dunia mereka lumayan, pengetahun agamanya pun oke.
Salah satu yang waktu itu menjadi target pribadi saya ialah puasa setiap hari Senin dan Kamis. Ini puasa sunah yang banyak sekali faedahnya. Selain bentuk ibadah kepada Allah, juga bisa melatih fisik menjadi lebih baik. Dan sejak memahami urgensi puasa Senin-Kamis, semaksimal mungkin saya lakukan.
Persoalan baru muncul karena setiap Senin kami mesti berolahraga pada jam ke nol. Dan, asa untuk masuk menjadi salah satu utusan sekolah dalam ajang lari di Porseni sedang bungah-bungahnya. Saya berpikir, bisakah dengan tetap berpuasa, lari pun maksimal. Saya tidak ingin kehilangan momentum puasa saban Senin. Tapi saya pun ingin tampil prima dalam seleksi itu. Akhirnya saya kuatkan tekad: tetap berpuasa dan mengikuti seleksi untuk ajang lari di Porseni.
Hari Senin yang dinanti tiba. Saya tetap berpuasa hari itu. Dini hari sebelumnya saya sudah sahur dengan porsi jumbo. Melahap nasi dengan menu sate ayam, plus dua bungkus mi instan dengan telur dan kerupuk, serta meminum susu menjelang subuh, saja jabani. Mungkin karena masih masa pertumbuhan juga, menu sejumbo itu memang relevan dengan ukuran tubuh dan usia, hehehe.
Sebelumnya, saban hari Minggu saya tetap berlatih berlari. Target pun saya pancangkan agak tinggi. Kebetulan di dekat rumah ada lapangan sepak bola Brebes. Ukurannya memang tak standar di Stadion Pahoman. Namun, mengelilingi sepuluh kali saja dengan limit 20 menit, sudah sesuatu yang berat.
Pagi itu saya sudah siap dengan kaus dan celana olahraga. Pak Bambang memberi tahu, jam olahraga kali ini sekaligus ajang untuk siapa saja yang berminat untuk masuk ke dalam nominasi tim atletik kecamatan. Pak Bambang menyebutkan beberapa nama yang berminat masuk ke dalam tim. Nama saya ia sebut. Beberapa teman tampak kaget. “Lu ikutan Yan, enggak salah.” Demikian rerata komentar. Saya hanya tersenyum. Tapi sebagian malah memberikan semangat. Tapi perihal saya hari itu berpuasa, tak ada yang tahu kecuali Allah dan saya sendiri. Tak elok rasanya saya mengatakan sedang berpuasa padahal ingin ikut seleksi.
Lapangan sekolah yang berdebu lantaran kemarau panjang itu, hari itu tampak lebih luas daripada biasa. Masih lumayan kalau kontur tanahnya rata. Kebetulan ada beberapa bagian yang menurun dan menanjak. Di beberapa titik, malah ada undakan bak tangga. Persis jam enam pagi, kegiatan lari dimulai. Yang tidak ikut seleksi, ajang pagi itu untuk mengisi nilai rapor. Buat yang seleksi, penilaian menjadi dobel. Ya untuk pengisian rapor, juga seleksi masuk tim atletik kecamatan.
Satu nama yang selalu menjadi andalan sekolah bernama Ponco. Ia teman baik sewaktu kelas I dan II. Namun, saat kelas III, kami tidak sekelas. Saya acap memperhatikan Ponco saat berlari. Tubuhnya memang ramping. Ia tak menggesa lari di bagian awal. Namun, acap saya perhatikan, begitu di pertengahan, speed ditambah dan makin menemukan peak performance menjelang finis atau limit waktu yang ditentukan.
Saya mencoba mengadaptasi cara berlari Ponco. Peluit Pak Bambang sudah ditiup. Puluhan pelari melesat. Saya mengatur napas dan kecepatan. Lari di pagi hari memang tidak sesulit siang hari. Terik matahari belumlah ganas. Kaki saya mantap mengikuti gerak dan irama berlari. Secara teori, sedikit-sedikit saya pahami. Secara konstan saya mengatur irama dan tempo. Debu yang mulai beterbangan sedikit banyak mengganggu cara mengambil napas.
Supaya termotivasi, saya menargetkan selesai duluan. Limit 15 menit yang standar dipakai, tentu bukan limit untuk saya yang ikut seleksi. Saya menargetkan hanya 10 menit, 7 putaran lapangan separuh lapangan bola itu saya rampungkan. Kebetulan saya meminjam arloji teman waktu itu.
Menjelang menit keempat, speed saya tambah. Saya lewati beberapa teman yang mengambil start terdepan. Mereka menepuki saya, memberikan semangat. Seorang teman nyeletuk, “Jarang-jarang nih ada ketua OSIS mau jadi atlet lari.” Hahaha, ada-ada saja.
Saya makin mempercepat langkah. Bulir-bulir peluh mulai keluar. Badan menghangat. Dari dahi dan pelipis, keringat mulai bercucuran. Beberapa pelari lain bahkan saya balap hingga dua sampai tiga kali. Pokoknya limit mesti tercapai. Pak Bambang juga ikut menyemangati. Saya makin bersemangat. Yang penting saya sudah berusaha. Soal nanti apakah limit saya sesuai dengan standar wakil kecamatan, biarlah guru olahraga kami yang tentukan.
Menjelang menit ke-10, putaran lari saya hampir mendekati tujuh putaran. Dan sesuai dengan target, tepat beberapa detik sebelum menit ke-10, tujuh putaran genap saya rampungkan. Karena masih ada sisa 5 menit untuk teman-teman yang lain, saya meminta izin kepada Pak Bambang untuk meneruskan lari. Dan saya ingin Pak Bambang mengalkukasi lagi, jika saya ditambah 5 menit, berapa putaran lagi saya bisa menempuhnya. Pak Bambang mengiyakan. Saya kembali menggenjot tenaga. Target saya minimal bisa tiga putaran lagi berlari.
Peluh sudah tiada terkira. Kaus basah oleh keringat. Namun, semangat saya membara, sampai lupa kalau kondisi saat itu tengah berpuasa. Pas menit ke-15, saya sudah memasuki tiga putaran tambahan. Masih untung bisa finis dengan tambahan 3 putaran.
Usai lari, saya duduk berselonjor di sisi lapangan. Kaus saya buka. Sepatu saya lepas. Letih sekali. Beberapa teman menyodorkan air minum. Saya menolak dengan halus. Biarlah puasa saya teruskan. Sayang kalau dibatalkan, sudah niat soalnya. Saya tak ambil pusing dengan perolehan putaran dengan limit yang ditentukan untuk masuk ke dalam tim. Ingat-ingat cerita kemarin, Ponco saja mampu melahap hampir 10 putaran dalam 15 menit waktu yang diberikan. Susah memang mengalahkan pelari spesialis jarak jauh sekolah kami itu.
Hari itu saya lalui dengan berdiam di kelas. Saat jam istirahat, say berbaring di kursi yang saya jejerkan. Lumayan bisa tidur-tidur ayam 15 menit. Sepulang sekolah, puasa masih saya teruskan. Tak tahan panas, siang itu saya mandi lagi. Selepas jam dua siang, saya tertidur pulas. Tentu dengan perut keroncongan, hehehe. Yang membuat bahagia apalagi kalau buka menjelang waktu berbuka. Saat magrib tiba, saya berbuka. Selarik doa saya haturkan. Selain meminta keselamatan dunia dan akhirat, saya meminta kepada Tuhan agar memasukkan saya ke dalam tim lari kecamatan.
Besoknya pagi hari saya sudah dicegat Pak Bambang di depan kantor guru. Ia berkata, “Hasil tesmu kemarin enggak mengecewakan. Untuk standar sekolah, kamu termasuk teratas, persis di bawah Ponco. Kemarin Bapak sudah bertemu dengan guru sekolah lain yang juga kompetitor kita untuk mewakili kecamatan. Bapak sudah perjuangkan nama Adian masuk ke dalam tim. Tapi, wakil sekolah lain juga bagus-bagus. Bahkan, mereka sampai seleksi di Stadion Pahoman yang memang bakal menjadi tempat Porseni. Limit mereka oke semua. Itu pun di tingkat sekolah masih diseleksi ketat. Yang terpilih memang yang tahun lalu ikut Porseni juga. Saingan Ponco, kawan kamu itu. Karena setiap kecamatan hanya tiga pelari yang ikut serta, kami para pembina olahraga berunding, setiap sekolah yang punya kans mengirim, hanya bisa diwakili satu pelari. Kali ini Bapak tetap memilih Ponco sebagai wakil sekolah sekaligus wakil kecamatan. Adian jangan kecewa ya.”
Saya hanya mendengar dengan baik ujaran Pak Bambang. Usai mengucap terima kasih, saya menuju ruang kelas. Seluruh tulang seperti tak punya kekuatan. Lunglai saya berjalan. Impian sekadar menjajal ajang sebeken Porseni pun tak bisa saya raih. Latihan rutin setiap hari Minggu ternyata belum bisa memberikan hasil terbaik. Kecewa sudah jelas. Tapi diapakan lagi. Saya memilih melangkahkan kaki ke sekretariat OSIS. Saya pegang satu anak kuncinya. Dua jam pelajaran awal saya lewatkan dengan “bersemedi” di ruang OSIS. Ruangan ini satu bulan lagi tak bakal sering saya kunjungi. Periode kepemimpinan akan berakhir.
Pasca-sekolah, saya berniat langsung pulang. Tak apalah kecewanya sampai seharian. Saat melewati ruang kelas I, seseorang memanggil saya. Pak Bustami Arsyad, pembina sepak bola. Saya menghampirinya. “Adian masuk tim sepak bola untuk Porseni ya. Kiper. Berdua sama Enru. Nanti mainnya gantian saja. Bapak sudah sering lihat kamu main. Kamis siang ke Pahoman, bawa sepatu. Kita latihan.” Tuhan Mahatahu. Tak masuk skuad atletik, malah masuk skuad sepak bola. Alhamdulillah.
Tapi, tadi, disebut latihan Kamis siang. Itu kan jadwal puasa. Oalah………………………
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H