Indonesia pernah merasakan krisis moneter hebat pada 1997-1998. Nilai mata uang rupiah jeblok. Pemutusan hubungan kerja (PHK) terjadi secara besar-besaran. Krisis ini pula yang akhirnya meruntuhkan dominasi kekuasaan Presiden Suharto. Usai 32 tahun berkuasa, The Smiling General itu pun tumbang. Berakhirlah kekuasaan orang kuat tersebut. Secara ekonomi, pemerintah saat itu menggembar-gemborkan bahwa stabilitas keuangan Indonesia cukup sehat. Meski ada dugaan miliuner George Soros memainkan rupiah saat itu, ternyata fondasi ekonomi kita memang lemah.
Meski hampir semua negara di kawasan ASEAN mengalami krisis moneter, Indonesia yang paling lama pulihnya. Ini mungkin juga dipicu dengan stabilitas politik yang turut carut marut. Hal ini mengindikasikan krisis politik juga berkelindan dengan ekonomi. Isu ekonomi ternyata menjadi senjata yang ampuh untuk meluluhlantakkan stabilitas politik suatu bangsa.
Mungkin sebelum ada krisis ekonomi di Amerika Serikat yang ditandai dengan ambruknya bank investasi Lehman Brother, tiada yang menyangka Negeri Paman Sam itu bakal terkena depresi hebat. Namun, usai Lehman Brother tumbang, dunia tercengang, ternyata negeri sekuat Amerika Serikat saja bisa tumbang. Stabilitas keuangan mereka ternyata tida sekuat bayangan awal. Jika negeri dengan fondasi ekonomi yang kuat seperti Amerika Serikat saja bisa tumbang, Indonesia juga punya kans untuk mengalami hal serupa.
Pengalaman kriris moneter tahun 1997-1998 membuktikan bahwa Indonesia bisa jadi mengulang kejadian yang sama. Maka itu, kita memerlukan stabilitas sistem keuangan yang mantap. Selarik naskah yang didedahkan dalam artikel ini berupaya mengetengahkan hal tersebut. Tiada definisi yang ajek mengenai stabilitas sistem keuangan ini. Namun, kita bisa mengurai dari pengalaman empiris selama ini. Karena kita berbicara soal sistem, kita akan bertemu dengan banyak item atau subsistem yang berkenaan dengan stabilitas sistem keuanigan nasional. Kita berkeinginan, sistem keuangan kita mantap meskipun didera banyak masalah. Pemantik utamanya tentu saja uang. Uang beredar, uang dijadikan patokan sebagai suku bunga, uang sebagai alat simpanan, dan uang sebagai cadangan devisa negara.
Suku Bunga
Poin menarik dari stabilitas sistem keuangan adalah suku bunga. Pengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Lampung, Nairobi, mengatakan, suku bunga dalam perekonomian ibarat aliran darah di dalam tubuh. Peredaran darah di dalam tubuh, jika dalam kondisi normal, acap membuat orang lalai memeriksakan kesehatan. Selama tubuh masih sehat, tiada masalah kesehatan, gangguan stroke, darah tinggi, sakit jantung, dan sebagainya; kita pasti malas untuk mengecek kadar kesehatan kita. Padahal, dalam dunia kesehatan saja, kita diimbau saban enam bulan memeriksakan kesehatan. Dari mulai tekanan darah sampai kadar gula dalam darah. Namun, itulah manusia, belum mau memeriksakan kesehatan jika belum terdesak alias sakit.
Dalam konteks stabilitas sistem keuangan, juga sama. Jika ekonomi masih tumbuh dengan positif, kita tidak pernah mau untuk mengecek kembali seberapa kuat fondasi ekonomi. Apakah suku bunga yang sedang berlaku terlalu tinggi atau masih dalam kisaran rendah. Kita juga tidak pernah mau mengecek, apakah indeks harga saham yang sedang berlaku punya imbas negatif terhadap perekonomian. Juga kita tidak pernah mau serius untuk menimbang seberapa besar utang luar negeri yang bunganya bisa memberatkan anak bangsa.
Barulah saat ekonomi kita guncang, semua pihak berbicara soal stabilitas sistem keuangan. Sistem keuangan kita memang tak melulu bergantung pada satu sector. Jika menilik sistem keuangan Indonesia, semua terbagi ke dalam banyak aspek atau item. Kita punya perbankan yang fungsinya selain tempat menyimpan uang oleh nasabah, juga menjadi alat investasi yang menggiurkan. Kita punya pasar modal yang memungkinkan masyarakat memiliki korporasi yang mencatatkan namanya di bursa. Kita juga punya item asuransi yang meski peminatnya masih dua persen dari seluruh rakyat Indonesia, tetap punya efek jika stabilitas keuangan terganggu. Kita pun masih memiliki korporasi besar yang dikuasai segelintir orang yang berduit banyak.
Semua ini, dalam konteks sistem keuangan, ada kaitannya antara satu dan lainnya. Dari sekian banyak itu, suku bunga memang paling menentukan. Sebab, inilah faktor penarik terbesar orang mau menginvestasikan duitnya.
Suku bunga yang tinggi membuat uang dalam skala besar terbenam dalam ruang hampa yang hanya segelintir orang yang mengetahuinya. Padahal, jika ia digerakkan dalam sector riil Indonesia, ada banyak penduduk yang bisa dibantu.
Suku bunga tinggi membuat uang yang beredar memang tidak terlampau besar. Tapi, menyimpan semua hanya demi deposito yang angkanya menggiurkan, dalam konteks tertentu tidak selalu baik. Besari, Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Lampung, menuturkan, sebaiknya memang suku bungan dibuat cukup rendah. Sebab, ini agak menjamin simpanan nasabah di bank tetap ada, tapi fungsi intermediasi bank dengan sector usaha berjalan. Keberimbangan ini membuat jumlah uang yang beredar di masyarakat cukup terjaga. Mengapa suku bunga ini sebaiknya dalam kisaran rendah? Sebab, yang memiliki uang dalam skala besar di Indonesia tentu hanya segelintir orang. Para taipan inilah yang ikut menentukan posisi stabilitas system keuangan kita. Jika suku bungan dibikin tinggi, sebagian orang ini tentu tidak begitu tertarik menginvestasikan duitnya untuk sector riil yang dikelola masyarakat.
Cukup dengan bersantai, saban bulan mereka menangguk bunga yang lumayan. Tentu uangnya akan pasif karena tidak digerakkan dalam ranah usaha yang riil. OJK berfungsi mengawasi dan mengatur ini. MenurutBesari, angka 9,75 persen adalah angka ideal suku bunga. Dengan angka ini, stabilisasi pasti akan terjaga.
Melongok soal suku bunga, memang tidak bakal memuaskan semua pihak. Tapi, tentu ada pilihan yang mesti diikuti. Dalam ranah global, semasa Alan Greenspan menjadi Gubernur Bank Sentral Amerika Serikat, tingkat suku bunga sering diturunkan. Hal itu berimbas pada pembayaran kredit perumahan yang lancar setelah sebelumnya warga negara sulit membayar. Penurunan suku bunga memang punya imbas yang besar. Tapi, jika tidak diturunkan, bencana depresi ekonomi seperti sub-prime mortgage, boleh jadi lebih cepat terjadi.
Jadi, tingkat suku bunga memang merangsang pertumbuhan ekonomi di satu pihak. Namun, mesti ada pengaturan sehingga efeknya tidak melulu berkenaan dengan kapitalisasi uang. Para orang kaya yang mungkin jumlahnya sedikit tapi punya duit dalam jumlah besar mestinya diberikan edukasi agar memperhatikan juga stabilitas keuangan nasional. Pendekatannya memang tak bisa semata kesadaran soal untung atau tidak.
Nairobi mengusulkan, pendekatan nasionalisme perlu dilakukan. Maknanya, kapitalisasi uang dalam bentuk pemanfaatan suku bunga tidak selalu dilakukan dengan mempertimbangkan besarnya keuntungan. Para orang kaya mesti diberikan pendekatan bahwa selain mengumpulkan uang, mereka juga mesti memikirkan orang miskin yang juga butuh modal.
Pendekatan semacam ini, nasionalisme, memang absurd buat orang zaman sekarang. Bicara nasionalisme dalam konteks ekonomi menjadi tidak konteks dengan perkembangan zaman yang menganut system pasar bebas. Adanya pengaturan suku bunga saja, dipandang sebagian kalangan sebagai bentuk intervensi negara. Padahal, dalam era pasar bebas, semuanya mestinya diberikan kebebasan atau bergantung pada mekanisme pasar. Seolah-olah bentuk intervensi negara benar-benar diharamkan dalam konteks pasar bebas. Untuk negara dengan tingkat per kapita yang tinggi, bisa saja semua regulasi ditutup. Namun, untuk negara miskin dan negara berkembang, entitas negara perlu melindungi warga negaranya. Termasuk juga dengan memberikan regulasi soal suku bunga. Ini menjadi penting agar rakyat merasakan keberadaan negara.
Praksisnya, kita perlu mendorong orang kaya berkapital besar untuk tidak menaruh seluruh duitnya ke dalam pasar modal atau membenamkan uangnya berupa deposito di bank. Kita tidak ingin, orang-orang yang hanya segelintir ini mengusai hajat hidup orang banyak dan tidak memberikan akses kemakmuran kepada rakyat. Pengusaha besar memiliki akses untuk mengetahui timing yang tepat untuk membeli dan melepas dolar. Ini sebagai contoh. Mereka yang paling tahu kapan negara membutuhkan dolar dalam jumlah besar untuk ekspor dan impor. Masyarakat kecil atau pengusaha kecil dan menengah kurang memiliki akses yang memadai untuk bisa mengetahui kondisi perekonomian demikian.
Heribertus Sulis, jurnalis Tribun Lampung, yang dua tahun terakhir mencoba peruntungan dalam bursa saham, mengatakan, pengusaha besarlah yang paling tahu momentum di mana negara membutuhkan mata uang dalam skala besar. Mereka juga yang paling tahu momentum untuk memanfaatkan kondisi pasar sehingga mampu meraup keuntungan yang signifikan.
Ia mengamsalkan, kebutuhan konsumen terhadap ayam potong. Kebutuhan konsumen terhadap ayam potong semakin meningkat saat Lebaran. Nah, menjelang Lebaran, pengusaha kelas kecil dan menengah mencoba peruntungan dengan mengembangbiakkan ayam. Sedangkan pengusaha besar sudah tahu tren yang muncul. Maka, dengan pengetahuan yang memadai soal akses infomrasi, ia tetap menjual ayam dalam skala besar di luar Ramadan dan Lebaran. Saat momentum Lebaran datang, ternyata suplai daging ayam over. Maka, harga pun jaguh karena pedagang terpaksa menjual ayam dengan harga murah lantaran suplainya berlebih.
Pengusaha besar yang mengusai bursa jelas mengetahui kalan kebutuhan keuangan terhadap dolar akana meningkat. Dengan akses yang ia miliki, ditambah belajar dari tren selama ini, ia paling tahu momentum memanfaatkan pergerakan harga saham. Maka, mereka yang kaya akan mendapat keuntungan yang maksimal.
Edukasi ini selayaknya diberikan oleh entitas negara. Sebab, negara memiliki kemampuan untuk itu. Ibarat kata, nasionalisme ini berkenaan dengan prinsip ekonomi Pancasila yang sudah bertahun-tahun menjadi rujukan. Meski untuk mengarah ke sana, selama Orde Baru pun tidak seratus persen ke arah itu.
Dengan pemerintahan baru yang dipimpin Joko Widodo, ada kans untuk lebih memperhatikan sebaran kesejahteraan ini. Maka itu, prinsip ekonomi Pancasila, tumbuhnya nasionalisme dalam berusaha, bisa direalisasikan. Standar filosofi ini barangkali bisa menemukan momentumnya di awal pemerintahan Joko Widodo. Dengan selalu mendengung-dengungkan soal kegotong-royongan, kans untuk membumikan nasionalisme sebagai fondasi utama stabilitas sistem keuangan, bisa dilakoni. Memang absurd jika didiskursuskan, tapi akan menarik jika direalisasikan.
Nah, alat ukur yang paling memungkinkan prinsip nasionalisme ini dimanifestasikan ialah dengan mengatur suku bunga pada kisaran yang proporsional. Tidak usah menyengget keuntungan finansial yang akbar dalam dunia investasi yang ujung-ujungnya hanya memperkuat korporasi besar untuk meluaskan ikhtiar usahanya. Yang mesti dilakukan ialah dengan menetapkan suku bunga yang rendah. Investor tetap mendapat keuntungan, sektor riil juga punya kans untuk berjalan dengan baik. Bunga, dalam ekonomi konvensional, memang menjadi bahan bakar utama. Inilah faktor penarik minat orang untuk membenamkan uangnya.
Namun, kembali ke soal nasionalisme tadi, kita berkeinginan agar para taipan punya semangat gotong royong juga dalam membangun ekonomi Indonesia. Kita tidak mau semangat mereka dalam mendepositokan duitnya berbanding terbalik dengan ikhtiar pengusaha kelas bawah dan menengah dalam berusaha.
Membaca Sinyal
Langkah yang bisa ditempuh untuk menjaga stabilitas keuangan tentu saja dengan membaca semua sinyal yang mengarah ke arah instabilitas. Pergerakan nilai indeks harga saham gabungan bisa menjadi salah satu indikasinya. Membaca sinyal via IHSG ini penting karena inilah ukuran kelaziman kita menilai pertumbuhan ekonomi. Kita senang jika rupiah menguat. Kita cemas jika rupiah menurun. Saat rupiah amat terpuruk pada 1997/1998, itu menjadi penanda runtuhnya sistem stabilitas keuangan. Ujungnya, pemerintah yang sedang berkuasa pun ikut tumbang. Sebab, dengan penguatan dolar terhadap rupiah secara liar memberikan sinyal ada masalah dalam kekuatan mata uang kita. Dalam konteks terkini, ada beberapa sinyal yang mesti kita camkan agar stabilitas sistem keuangan terjaga. Apa saja itu? Mari kita dedahkan.
Pertama, membaca tren di negara tetangga atau ASEAN. Kondisi keuangan negara tetangga bisa menjadi sinyal kekuatan keuangan dalam negeri. Saat kriris moneter 1997/1998, hampir semua negara ASEAN terkena dampaknya. Ada yang pulih dengan segera, ada pula yang bangkitnya cukup lama, seperti Indonesia. Dengan melihat kurs dolar terhadap mata uang negara tetangga, kita bisa membaca pergerakan uang di dalam dan luar negeri. Misalnya saat Malaysia dan Thailand sedang berada dalam momentum ekspor, pergerakan dolar akan menguat karena permintaan terhadap mata uang itu cukup tinggi.
Produk yang dihasilkan negara tetangga, yang punya kualitas cukup bagus, pasti berpengaruh terhadap permintaan pasar. Boleh jadi, regulasi yang diminta negara pengimpor dipenuhi oleh kedua negara itu. Sementara Indonesia memiliki kans yang lebih kecil. Dalam situasi semacam inilah, boleh jadi pergerakan dolar bakal berpengaruh terhadap rupiah di tanah air.
Kedua, pengumpulan dana masyarakat. Di Indonesia acap terjadi penipuan dengan modus pengumpulan dana masyarakat untuk bisnis yang hanya memerlukan saham dari masyarakat. Alih-alih mendapat bunga yang besar seperti yang dijanjikan, yang terjadi justrumsebaliknya.
Mengawasi pengumpulan dana masyarakat, contoh yang dilakukan Ustaz Yusuf Mansyur di mana OJK kemudian memanggil dan meminta penjelasan. Sebab, pengumpulan dana masyarakat yang tidak diiringi regulasi yang sesuai bisa menimbulkan masalah.
Bisnis money game juga patut diwaspadai. Masyarakat kita masih muda diiming-imingi bunga yang besar hingga mencapai di atas 30 persen. Ini mesti diwaspadai karena nominal bunga sebesar itu rasanya tak masuk akal. Jika ada penawaran pihak lain yang labanya sampai ke kulminasi yang sangat tinggi, itu juga mesti diwaspadai. Ada banyak cerita betapa bisnis yang menggiurkan ini malah kemudian membawa si empunya uang ke dalam kebangkrutan. Alih-alih mendapatkan keuntungan, malah bunting.
Ketiga, kecukupan modal bank. Alokasi pinjaman bank kepada pihak ketiga juga mesti diperhatikan dengan saksama. Kisruh yang pernah terjadi pada Bank Century dimulai dari pengalokasian uang dalam jumlah besar ke bank swasta itu. Dengan berdalih menyelamatkan, kasus tersebut malah berujung tidak sedap. Bahkan, beberapa pengamat meminta Bank Indonesia turut bertanggung jawab lantaran tak awas dalam pengawasan.
Kecukupan modal bank dalam menjalankan usahanya mesti mendapat perhatian yang cukup. Bank memang berfungsi untuk intermediasi. Bank juga dituntut profesional dalam pelayanan kepada nasabah. Namun, jangan sampai ada permainan di titik ini.
Kita menginginkan, bank juga bisa menjadi sahabat yang baik kepada nasabah miskin yang hendak berusaha. Uang yang ada pada bank semestinya menjadi sahabat untuk mereka yang membutuhkan modal usaha dalam sektor riil.
Keempat, kredit perumahan. Salah satu program yang bakal dilaksanakan oleh pemerintahan di bawah komando Joko Widodo ialah kemudahan dalam pengajuan kredit perumahan. Di satu sisi ini bagus karena masyarakat menengah ke bawah akan mendapat rumah sederhana dan sehat. Ini adalah bentuk keberpihakan pemerintah kepada rakyat.
Namun, di sisi lain, kemampuan dari rakyat untuk mencicil kreditnya juga menjadi hal yang utama. Sistem keuangan Amerika Serikat pernah tumbang lantaran ada sub-prime mortgage, yakni kredit perumahan untuk rakyat banyak yang mangkrak. Bank investasi besar seperti Lehman Brother kemudian ikut ambruk. Bencana ekonomi termasuk yang terbesar yang pernah terjadi di Negeri Paman Sam. Indonesia mesti mengambil ibrah ini dengan memperhatikan benar kemampuan rakyat untuk melunasi kreditnya.
*
Menjaga sistem keuangan kita agar selalu stabil memang tidak mudah. Membaca sinyal-sinyal yang mengundang bahasa instabilitas adalah langkah yang bijak. Tentu dengan sembari kukuh dalam menjalankan semua regulasi keuangan yang melindungi sistem ini.
Titik tekan adalah pada regulasi soal suku bunga yang proporsional. Inilah bentuk keberpihakan negara dan juga orang kaya kepada bangsa. Benar bahwa para taipan memiliki uang yang tiada terbatas. Mereka depositokan itu ke bank di luar negeri pun adalah hak setiap warga Negara. Menunggu sampai nilai saham terkerek cukup tinggi sehingga hasil penjualan saham dalam kisaran lumayan, juga aktivitas ekonomi yang diperbolehkan.
Namun, kita berbicara dalam sebuah system keuangan yang terdiri dari banyak faktor. Kita bicara untuk kemaslahatan sebuah entitas Negara. Maka itu, kita berharap edukasi kepada segelintir pemilik modal berjalan dengan baik. berusahalah untuk tetap menjaga kesetimbangan dalam system keuangan yang dibangun ini. Jangan sampai, keuntungan yang dikeruk kemudian membuat susah rakyat banyak dan rakyat kebanyakan.
Tugas menjaga “nasionalisme stabilitas sistem keuangan” memang penting disematkan kepada Otoritas Jasa Keuangan. Sebab, lembaga ini bertujuan mengatur dan mengawasi lembaga keuangan perbankan, yang meliputi kelembagaan, kehati-hatian, dan pemeriksaan bank. Tugas penting ini, menurut hemat penulis dan sudah dikemukakan di atas, mesti ditambah dengan mengupayakan edukasi agar pemilik kapital besar mau mengontribusikan dananya untuk sector riil. Dengan begitu, usaha rakyat akan bergerak. Setidaknya, kalangan bawah ini punya pendapatan saban bulan. Ini memungkinkan mereka bisa membiayai hidup dan mencicil kredit rumah sederhana yang bakal diprogramkan Presiden Joko Widodo. Barangkali, inilah pengejawantahan nasionalisme dalam ruang lingkup stabilitas system keuangan Indonesia.
Rasanya, nasionalisme tak sekadar didengungkan saat Indonesia bergerak menuju kemerdekaan. Dalam ranah keuangan ini, nasionalisme cukup penting untuk dijadikan isme yang menjadi latar dan kultur untuk menjaga stabilitas keuangan kita. Toh, semua regulasi yang dibuat, termasuk mengamanatkan kepada OJK sebagai regulator pengawasan dan pengaturan, adalah implementasi mewujudkan kemakmuran untuk rakyat.
Sistem keuangan tak melulu berkenaan dengan perhitungan yang rumit dengan segala item-nya. Namun, di balik itu, ada semangat agar semua warga Negara mengecap kehidupan yang lebih baik. Memang tak bakal merata. Kaya dan miskin tentu tetap ada. Namun, dengan sistem keuangan yang baik, gap antara keduanya tak bakal lebar. Ini yang akan menjaga rasa keadilan dari setiap warga, bahwa mereka juga bagian integral dari konstruksi sistem keuangan Negara. Rasanya, pantas jika “nasionalisme” ini diinformasikan secara luas dalam ranah sistem keuangan kita. Semoga ke depan bakal lebih baik. Tabik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H