Tadi malam saya mendapatkan undangan yang menurutku sungguh berat, berat dalam pengertian bahwa setelah berdiskusi sebelumnya dengan sang pengundang barulah diketahui bahwa maksud dan tujuan mereka adalah meminta kesediaan saya untuk membantu persoalan keluarganya yang nota bene berhadapan dengan kasus seperti menelan buah simalakama, tidak dimakan Ibu meninggal, dimakan bapak Almarhum.
Walaupun persoalan hidup adalah hak nya Yang Maha Kuasa oleh karena itulah persoalan ini boleh disebut pelik menurut saya yang masih belum mempunyai pengalaman sedikitpun. Saya diminta nasihatnya untuk mendampingi beliau tentang masalah anaknya sang pengundang yang sebentar lagi akan kedatangan tamu dari keluarga Besannya, sehubungan dengan kedua belah pihak anak-anaknya mempunyai permasalahan ketidak harmonisan perkawinan mereka dan menuntut perceraian. Inilah yang membuat saya bingung. Saya tidak tahu dan tidak mau tau penyebab dari perpisahan itu karena ukuran ketidakharmonisan keluarga yang berhak merasakan dan mengatakannya kan pasangan yang bersangkutan tokh… kenapa kita sebagai orang tuanya menjadi ikut jadi bingung juga. Kalau datang ketidak cocokan, ya dicocok-cocokan saja antara kedua belah pihak, jika tidak mau cocok juga dan sudah menjadi sentiment diri mereka masing-masing sehingga kalau dibiarkan bersatu juga dikhawatirkan berdampak terhadap rasa sakit yang tadinya hanya sampai di hati lalu berkembang ke jasmani ya itu kan memperlebar permasalahan jadinya kan, ya… mereka sajalah yang memutuskan, saya nggak mau ikut campur urusan keluarga mereka, takut nanti dijadikan sebagai biang kerok tindakan memisahkan dari yang sudah Maha Kuasa satukan, berdosa kan, kualat, saya takut ditanya nanti di akherat, kenapa kau berani-nberaninya memisahkan kasih sayang yang sudah Aku satukan, belum lagi menyangkut bayinya, jadi persoalan menjadi tambah rumit karena sudah menyangkut tiga jiwa yang di cerai beraikan perasaan kasih sayangnya oleh para orang dewasa yang tidak tau persoalan dan permasalahan sebenarnya. Ah berabe nian saya kali ini. Jika persoalan pasangan yang tadinya baik semasa pacaran sampai melangsungkan pernikahan, kasih sayangnya serta rasa cintanya tumplek, itu sih sudah biasa, kemudian setelah menikan terjadi gesekan, pertengkaran sampai sedikit intimidasi itu juga biasa. Mempersatunya dua perbedaan itu sungguh sulit, paling tidak perlu proses hingga keduanya sadar bahwa persamaan dalam persatuan itu lebih penting dibandingkan perbedaan, saya tidak dapat membayangkan jika perkawinan tanpa kesatuan minimal satu tubuh saja, apa harmonisnya kehidupan dalam keluarga yang model demikian. Tetapi sekali lagi yang perlu di ingat bahwa persatuan itu relatif lebih bahagia, lebih ekonomis dan lebih diakui sebagai sumber mengalirnya unsur-unsur kebahagian itu sendiri, rekjeki asal dicari dari jalan yang benar ujungnya menjadi ibadah sampai senyum saja jadi ibadah. Hidup ini saja sudah selalu bergesekan dengan dosa, kalau tidak diimbangi dengan nilai ibadah wah bisa tekor itu. Berpisah itu bukan tidak boleh tetapi tidak di sukai, namun demikian jika tidak ada jalan lain selain berpisah karena dirasa oleh ke dua pasangan nilai kebaikannya lebih besar dari keburukan yang di akibatkannya, layaknya pasangan yang tidak bahagia di paksa untuk di satukan di mana letak hak kemanusiaannya. Namun yang menjadi kunci adalah menjaga silaturahkmi kedepannya tokh kita juga adalah sama seperti manusia lainnya, tidak dapat berhubungan dengan manusia lainnya tanpa menjunjung nilai kebaikan, apalagi yang dulunya bersatu kemudian karena sesuatu hal berniat untuk berpisah apalagi menyangkut kasih sayang anak, siapa yang sanggup menjawab pertanyaan anak bayinya kelak ketika sudah besar nanti bahwa kalian lah wahai manusia-manusia dewasa yang karena ego dan emosinya menyebabkan terputusnya hak kasih sayang dari kedua orang tuanya walaupun kondisinya memang kedua orang tuanya sudah tidak dapat disatukan kembali tetapi hak kasih sayang dari kedua orang tuanya adalah mutlak diperlukan bagi seorang anak. Silahkan jawab sebelumnya jangan dijawab nanti apalagi bila sudah terlanjur. Lebih baik dipikirkan sekarang bahwa tidak ada yang dapat dikatakan sebagai bekas anak, bekas suami atau isteri mungkin masih dianggap wajar, tapi bekas anak. Nonsen tidak ada dalam kamus.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H