Lihat ke Halaman Asli

Pemerintah Harus Mewaspadai Efek APBN-P

Diperbarui: 3 Juni 2016   14:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar diambil dari http://sp.beritasatu.com/media/images/original/20151030161713564.jpg

Dalam setiap organisasi adalah hal yang wajar untuk membuat anggaran operasional yang berisi pendapatan dan pengeluaran. Negara pun juga seperti, Indonesia melalui lembaga eksekutif dan legislatif harus bahu membahu membuat anggaran operasional atau yang dikenal APBN (Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara). Normalnya, APBN dibuat setahun sebelum diterapkan seperti APBN 2016 dibuat tahun 2015.

Isi APBN tersebut adalah berupa pos-pos pengeluaran dan pendapatan negara. Dalam kenyataannya juga, APBN bisa mendapatkan revisi atau perubahan. Tetapi dalam undang-undang, perubahan APBN ini harus melihat kondisi perekonomian yang tidak menentu di tahun tersebut. Tetapi selama pasca era reformasi, perubahan dalam APBN tidak memperlihatkan langkah-langkah seperti itu..

Kita melihat data ketika SBY memimpin, di saat beliau memimpin terjadi perubahan-perubahan terhadap APBN. Perubahan tersebut juga selaras dengan banyaknya kasus korupsi. Kasus Hambalang, pengadaan al Quran atau kasus wisma atlet adalah hasil adanya perubahan terhadap APBN.

Ironi lainnya adalah adanya ketidakselarasan antara perubahan pendapatan dan pengeluaran. Pemerintah SBY saat itu menaikkan anggaran pendapatan tetapi menurunkan pengeluaran. Seperti pada APBN-P 2013, target pendapatan negara diturunkan menjadi 1.488,32 triliun tetapi belanja negara justru dinaikkan menjadi Rp 1.722,03 triliun.

Ironi yang terakhir tidak terjadi di zaman Jokowi. Kondisi pemerintahaan saat ini sudah pernah memangkas APBN di tahun 2015. Pendapatan dan pengeluarannya sama-sama diturunkan. APBN 2015, pendapatan negara ditetapkan sebesar Rp 1.793,6 triliun, sementara belanja negara sebesar Rp 2.039,5 triliun. Sedangkan dalam APBN-P, target pendapatan negara diturunkan menjadi Rp 1.761,6 triliun, sementara belanja negara dipangkas menjadi Rp 1.984,1 triliun.

Pola ini berubah dan tentu saja berefek ke berbagai hal. Salah satunya keyakinan para pemodal untuk melakukan investasi. Pemangkasan yang dilakukan Jokowi tersebut, memberi indikasi bahwa keadaan ekonomi sedang tidak baik. “Pemotongan anggaran belanja negara sebenarnya memberikan sinyal buruk ke pasar dan investor,” ujar Misbakhun (Kompas, 3 Juni 2016).

Keadaan ini harus diperhatikan pemerintah, terutama APBN 2016 ada tanda untuk dilakukan pemangkasan kembali. “Masalah trust ini sangat penting. Pemerintah harus bisa menjaga kepercayaan pasar dan investor,” ujar Misbakhun lagi. Karena bagaimana pun, untuk menggairahkan ekonomi Indonesia kembali, dibutuhkan kepercayaan dari para investor. Sehingga untuk masalah APBN-P ini harus diperhitungkan dan dicermati kembali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline