Sejak merdeka tahun 1945, dunia pendidikan di negeri ini diwarnai dengan kurikulum yang selalu berganti. Bahkan beberapa dekade terakhir saja, dunia pendidikan di negeri ini sudah disuguhkan pergantian kurikulum dari kurikulum 2013 (K13) kepada kurikulum merdeka. Mengapa harus terjadi perubahan atau pergantian kurikulum?
Ada beberapa indikator yang menjadi faktor utama diubahnya atau digantinya kurikulum? Pertama, perubahan kurikulum seringkali mengikuti atau menyesuaikan perkembangan zaman. Idealnya, kurikulum harus mampu mensinergikan perkembangan teknologi, nilai-nilai budaya, serta ilmu pengetahuan dengan kehidupan praktis kekinian. Sedangkan seperti yang telah diketahui bahwa indikator-indikator di atas begitu fleksibel dan dinamis, sehingga kurikulum harus dapat disesuaikan dengan perkembangannya.
Kedua, perubahan atau pergantian kurikulum juga seringkali bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, dalam hal ini output yang dihasilkan. Ketiga, perubahan atau pergantian kurikulum juga bertujuan untuk mengakomodasi kebutusan setiap peserta didik. Oleh karena setiap kurikulum yang baru pasti akan menyesuaikan dengan perubahan global yang sedang terjadi, hingga berusaha memanfaatkan seoptimal mungkin setiap sumber daya yang tersedia.
Sejarah Pergantian Kurikulum
Apabila kembali ke belakang, maka kurikulum pertama yang digunakan dalam dunia pendidikan di bangsa ini pascamerdeka tahun 1945 adalah Kurikulum 1947. Kurikulum yang disusun tepat dua tahun setelah peristiwa proklamasi kemerdekaan, awalnya dinamakan "Leerplan", yang diadopsi dari istilah bahasa Belanda.
Melalui kurikulum ini, pemerintah pada waktu itu mencoba merancang sebuah sistem pendidikan yang lebih menekankan kepada pembentukan karakter rakyat Indonesia yang merdeka, berdaulat, dan sejajar dengan bangsa lain. Itulah sebabnya kurikulum ini lebih berfokus pada pendidikan watak, kesadaran bernegara serta bermasyarakat.
Kemudian muncul Kurikulum 1952 yang merupakan penyempurnaan kurikulum sebelumnya. Kurikulum ini lebih konsen untuk mengatur pembahasan topik setiap mata pelajaran dengan kehidupan masyarakat, supaya dapat saling terkait. Bahkan melalui kurikulum ini, diatur juga bahwa setiap pengajar hanya dapat mengampu satu mata pelajaran saja.
Satu dekade kemudian, disusunlah kurikulum 1964 yang lebih fokus kepada pengembangan moral, kecerdasan, emosional atau artistik, keterampilan, dan jasmani. Indikator-indikator di atas dikenal dengan sebutan pancawardhana. Penerapannya dilakukan secara aktif, kreatif dan produktif dengan tujuan untuk menanamkan pengetahuan kepada peserta didik mulai dari jenjang Sekolah Dasar. Di mana setiap hari Sabtu dijadikan sebagai hari untuk berlatih berbagai kegiatan ekstrakurikuler sesuai dengan minat dan bakat bagi setiap siswa.
Tidak lama berselang, tepatnya di tahun 1968 muncullah kurikulum baru yang memiliki bertujuan untuk membentuk manusia pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani, meningkatkan kecerdasan serta keterampilan jasmani, moral, budi pekerti dan keyakinan beragama. Kurikulum ini disebut Kurikulum 1968.
Hanya bertahan beberapa tahun saja, kemudian diganti dengan kurikulum 1975, yang mana penyusunannya dilakukan setelah pelaksanaan program Repelita tahap pertama di masa pemerintahan Presiden Soeharto. Secara prinsipnya kurikulum ini menginginkan pendidikan itu dilaksanakan secara efektif dan efisien. Pada kurikulum ini lebih merinci metode, materi, dan tujuan pengajaran dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI), yang kemudian memunculkan istilah satuan pembelajaran.