Akhir-akhir ini, kita sepertinya dihipnotis dengan pemberitaan media tentang kasus pembunuhan Brigadir J. Pada mulanya diberitakan bahwa meninggalnya Brigadir J melalui peristiwa tembak-menembak sesama anggota Polri rumah jabatan Kadiv. Propam Duren Tiga, Jakarta Selatan. Namun dalam perkembangannya, akhirnya terungkap bahwa itu merupakan berita yang telah diskenariokan untuk menutupi fakta yang sebenarnya. Oleh karena berdasarkan informasi yang diumumkan oleh Mabes Polri, sebenarnya kasus ini adalah kasus pembunuhan berencana yang dilakukan oleh bos dan rekan-rekan Brigadir J. sendiri. Bahkan Polisi sendiri telah menetapkan sekurang-kurangnya lima tersangka untuk kasus pembunuhan berencana ini.
Tersangka utama, dalam hal ini Irjen FS telah berulang kali menegaskan bahwa motif pembunuhan itu dilatarbelakangi oleh tindakan korban yang telah melakukan pelecehan seksual kepada istrinya. Sehingga sebagai usaha untuk menjaga martabat keluarga, akhirnya dia mengotaki pembunuhan Brigadir J di rumah dinasnya. Sekalipun demikian, motif ini masih terus didalami oleh penyidik Polisi.
Ada hal yang membuat saya merasa sedih dari kasus pembunuhan Brigadir J. Pelaku utama dan korban adalah orang-orang yang mengaku sebagai pengikut Kristus alias orang Kristen. Tersangkan FS, PC, RE bahkan korban J adalah orang Kristen. Tentunya kasus ini menjadi noda bagi Gereja karena ternyata dalam hal ini gereja telah gagal menjadi saksi dan menjadi pelita bagi dunia dalam hal perbuatannya.
Kalau kita kembali menyimak ajaran utama Yesus semasa hidupnya, maka dapat dikatakan bahwa ada dua hal yang cukup sering ditegaskan oleh Yesus, seperti yang juga tercatat dalam kitab Injil. Kedua ajaran itu adalah ajaran untuk mengasihi (Mat. 22:37-40) dan mengampuni (Mat. 18:21-22).
Pada Matius 22:37-40 yang paralel dengan Markus 12:28-34 dan Lukas 10:25-28. Berdasarkan ayat di atas, maka kasih atau mengasihi meliputi dua hal, yakni kasih kepada Allah dan kepada sesama. Kasih atau mengasihi Allah menuntut sikap hati yang menghormati Allah yang membawa kita kepada sebuah persekutuan dengan-Nya, menaati setiap perintah-Nya bahkan rela untuk mengambil bagian dalam penderitaan-Nya demi memperluas kerajaan-Nya di dunia ini serta memiliki hidup yang selalu mempermuliakan Tuhan. Kasih kita kepada Allah haruslah kasih yang sepenuh hati dan yang menguasai seluruh diri kita, kasih yang dibangkitkan oleh kasih-Nya kepada kita yang menyebabkan Dia mengutus Anak-Nya untuk kepentingan kita.
Kasih kepada Allah ini kemudian menjadi dasar bagi kita untuk mengasihi sesama. Hukum atau perintah untuk mengasihi sesama secara prinsip memiliki kesamaan dengan hukum kasih kepada Allah. Itulah sebabnya perintah ini merangkum semua perintah yang tertulis dalam hukum Taurat dalam PL. Kasih yang benar kepada sesama adalah contoh atau bukti konkret kasih kita kepada Allah (1Yoh. 4:20).
Dengan demikian, secara tersirat kasih kepada sesama dapat berarti bahwa kita mengasihi diri kita sendiri. Kita harus menghormati dan menghargai semua orang, dan tidak boleh melakukan kejahatan atau tindakan yang merugikan siapa pun. Kita harus memiliki niat yang baik kepada semua orang, keinginan yang baik kepada semua orang, dan selalu berbuat baik kepada semua orang. Bahkan dalam banyak hal kita harus menyangkal diri demi kebaikan sesama kita. Kita harus bersedia menjadi pelayan demi kesejahteraan orang lain, dan bersedia mengorbankan diri kita untuk mereka, termasuk menyerahkan nyawa kita untuk sesama kita.
Selanjutnya ajaran Yesus tentang mengampuni seperti yang tertulis dalam Matius 18: 21-22 sebenarnya hendak menegaskan sebuah pengampunan yang tanpa batas. Pada ayat 21, Petrus menyatakan bahwa pengampunan itu memiliki batasan. Tetapi kemudian direspons oleh Yesus dengan mengatakan bahwa pengampunan itu dilakukan "tujuh puluh kali tujuh kali", yang mengindikasikan pengampunan tanpa batas.
Seharusnya orang Kristen tidak boleh lagi memperhitungkan dosa-dosa yang dilakukan oleh sesama kita terhadap kita. Penting bagi kita untuk selalu menjaga kedamaian, baik di dalam maupun di luar jemaat, dengan mengampuni kesalahan yang diperbuat kepada kita, tanpa memperhitungkan seberapa sering kita mengampuni dan melupakannya. Allah melipatgandakan pengampunan-Nya sehingga kita pun harus demikian (Mzm. 78:38,40). Hal ini menyiratkan bahwa kita harus membiasakan diri kita untuk terus mengampuni sampai ini menjadi suatu kebiasaan atau gaya hidup kita.
Mengapa kita harus mengampuni? Oleh karena sebelumnya Allah telah mengampuni kita. Setiap pelanggaran, kejahatan dan dosa kita telah dihapuskan oleh Allah. Sehingga hidup kita yang seharusnya binasa, sekarang dianugerahkan kehidupan yang mulia dalam persekutuan dengan Allah. Sehingga berdasarkan pengampunan itulah, kita pun wajib mengampuni sesama kita. Sebesar apapun kejahatan dan kesalahan yang telah diperbuatnya kepada kita. Bahkan kita sama sekali tidak diperbolehkan untuk membalaskan kejahatan dengan kejahatan yang sama, sebaliknya kita harus mengampuninya.