Lihat ke Halaman Asli

Adi Kurniawan Ritonga

Digital Marketer

Diary dari Kubur

Diperbarui: 17 Juni 2015   09:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Ketika itu matahari tengah gagahnya membakar angkasa. Aku yang bermain suka cita harus pulang dari sekolah setelah jemputan sang duda isyaratkan sebuah petanda. Apa? Aku terlalu kecil untuk memahami sebuah isyarat makna. Seragam merah putih berbau tanah pun masih menempel di badanku. Maka aku pulang. Berkendara sepeda motor yang melaju penuh debar.

.

Aku dapati bendera putih di depan rumah. Ada dua. Satu sebelah kiri menunduk ke arah tanah, dan satunya lagi juga begitu, sama. Ingusku masih terlalu dini memahami apa yang terjadi. Masih dengan guratan tanah di pipi, aku turun dari sepeda motor tanpa beban. Melewati kerumunan kepala-kepala manusia berjubah.

.

Aku melihat mereka pipinya basah. Suaranya parau dan gelisah. Pandangan mereka ke satu arah. Ke arah seorang manusia terbungkus kain berwarna merah. Tangis mereka pecah, sebagian saudaraku bahkan tergeletak di tanah. Badannya lemah, kondisinya parah. Tapi bukan itu yang membuatku resah. Resahku adalah wanita yang terbungkus kain merah. Ya, dia ibuku yang gagah. Nyawanya tiada sudah. Badan dan arwahnya berpisah. Lalu suaraku membesar dan emosiku membuncah. Aku marah!! Tangisku pecah. Reaksiku tak terarah. Aku terkulai lemah.

.

Ternyata aku harus relakan ibuku pergi. Sama sekali aku belum paham apa itu kepergian dan sendiri. Aku masih bocah yang tetap bermain tanah dan api. Belum aku mengerti bahwa aku sudah sepi. Badan kurus dan kerdil harus pandai megurus diri.

.

Kini 15 tahun berlalu. Setidaknya masih ada satu orangtua tempatku bertumpu. Aku pandangi bendera putih yang lusuh dan berdebu. Sekarang aku tau, mengapa bendera ini terpajang beberapa tahun lalu. Sekarang aku paham, mengapa dahulu orang-orang berwajah sendu. Sekarang aku bisa mengerti mengapa saudaraku seperti bunga yang layu. Dan sekarang aku masih mengukir nama ibu walau di atas batu, pada nisan dibawah langit yang kelabu.

.

Semoga bunda, pada dunia yang aman dan tenang disana.
---------------
#AKR
Mengenang 15 tahun kemandirian




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline