Lihat ke Halaman Asli

Antara Logika dan Laku

Diperbarui: 24 Juni 2015   23:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Kerangka logika sebesar dan sehebat apapun, apabila salah satu element kecil dasarnya ada yang gugur, maka otomatis keseluruhan bangunan logika di atasnya akan runtuh. Tetapi kadang kita malu mengakui, enggan untuk jujur, atau pura-pura tidak tahu apabila di salah satu dasar logika ternyata mengandung kecacatan.

Manusia memang sulit untuk bebas dari keinginan dan kepentingan. Seseorang yang dirinya cerdas dan sudah merasa berpikir logis, belum tentu jalur pikirannya benar-benar logis, karena bisa jadi ada faktor kepentingan yang mempengaruhi jalan pikirannya. Untuk itulah diperlukan alat bantu berupa angka-angka (perhitungan) atau obyek nyata untuk membuktikan kelogisan berpikirnya.

Bagaimana apabila kesulitan dalam melakukan perhitungan atau percobaan-percobaan?

Maka perlu dilakukan pengikisan keinginan, yaitu dengan LAKU. Misalnya dengan menekan hasrat makan di luar kebutuhan, hasrat seksual di luar keperluan, hasrat malas, hasrat terkenal, hasrat gengsi, hasrat kekayaan, hasrat sombong, hasrat kepuasan, dll. Dengan laku, akan lebih teranglah alam pikiran, lebih jujur, lebih adil, meskipun mungkin belum mencapai puncaknya.

Keterkaitan antara kondisi keinginan dengan alam pemikiran ini sangat erat, bisa dibuktikan bahwa kadang kala pola pikir personal mengalami perubahan tergantung suasana hati, tergantung keadaan yang melingkupi. Berpikir saat sehat, senang dan kenyang kadang berbeda dengan saat sakit dan sengsara.

Teknologi yang diakui dunia dan mampu membawa manfaat bagi manusia tidak terlepas dari serangkaian perhitungan dan uji coba yang serius. Sedangkan pengetahuan spiritual besar dunia tidak terlepas dari laku hidup yang cenderung bebas ego dari tokohnya. Para tokoh besar dunia adalah orang-orang yang telah nyata perjuangannya lahir dan batin.

Jadi, bagi kita yang konon memperjuangkan kebenaran, atau yang mencari pencerahan, atau yang belajar menemukan kebenaran, atau yang bahkan menyanggah perkataan tokoh besar yang dihormati, sangat penting bagi kita untuk berkaca, seperti apakah pribadi kita, seberapa besarkah ego kita. Karena suatu kemustahilan untuk menemukan kerangka pikir baru yang lebih benar apabila dirinya sendiri terbukti masih sering memperturutkan keinginannya.

Wallohu a’lam




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline